5 Kebijakan Fiskal Pemerintah 2025: Negara Cari Cuan, Rakyat yang Jadi Korban

JAKARTA – Pemerintah Republik Indonesia menggulirkan serangkaian kebijakan perpajakan dan pungutan baru sepanjang tahun 2025.

Langkah itu disebut sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat kemandirian fiskal serta membiayai pembangunan nasional tanpa terlalu bergantung pada utang luar negeri.

Berikut lima kebijakan utama yang telah atau akan diberlakukan:

  1. Pajak Penghasilan (PPh) Pedagang E-Commerce yang rencananya berlaku mulai 14 Juli 2025 melalui PMK Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah memungut PPh atas transaksi pedagang lokal di platform e-commerce.
  2. Kenaikan Pungutan Ekspor CPO dan Produk Turunannya melalui PMK Nomor 30 Tahun 2025, dimana sejak 17 Mei 2025 tarif ekspor minyak sawit mentah (CPO) naik dari 7,5% menjadi 10%.
  3. Pungutan Ekspor Komoditas Kakao dimana Pemerintah tengah merancang pungutan ekspor terhadap kakao sebagai sumber pendanaan pengelolaan komoditas strategis.
  4. Rencana Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) guna menekan konsumsi gula masyarakat.
  5. Rencana Bea Keluar untuk Batu Bara dan Emas yang direncanakan berlaku pada 2026, kebijakan tersebut dikabarkan akan menyesuaikan tarif ekspor batu bara dan emas jika harga global melebihi nilai keekonomian.

Lebih lanjut pemerintah menyatakan bahwa lima kebijakan fiskal tersebut merupakan langkah menuju reformasi perpajakan progresif.

Tujuannya antara lain: menambah penerimaan dari sektor ekonomi digital dan sumber daya alam, Menyelaraskan sistem pajak dengan tren global, Mengendalikan konsumsi yang berdampak buruk bagi kesehatan, Mendukung ketahanan komoditas strategis, Mengurangi ketergantungan pada utang untuk pembiayaan APBN.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut strategi itu sebagai bagian dari “jalan menuju kemandirian fiskal Indonesia”.

Pemerintah Jadikan Dompet Rakyat Sebagai Solusi Krisis Keuangan Negara

Namun, Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII) menilai bahwa kebijakan tersebut secara sistemik mengeksploitasi rakyat kecil demi menutup defisit APBN, tanpa reformasi struktural dan keadilan fiskal yang serius.

Pasalnya, kebijakan fiskal yang terlampau berbelit-belit masih memperburuk distribusi keadilan fiskal mematahkan harapan masyarakat.

“tanpa perbaikan struktural, semua kebijakan itu hanya omon-omon aja, lagu lama yang terus diputar. Alhasil yang kena dampak adalah rakyat kecil, pelaku UMKM, petani, dan konsumen kelas bawah, sementara yang lain tertawa diatas penderitaan rakyat.” tegas Ketua Umum PB LMII, Alialudin Hamzah dalam keterangan pers di Jakarta (29/7).

PB LMII juga menyoroti kebijakan pajak e-commerce yang dinilai memukul pelaku UMKM. Dimana berdasarkan data Kemenkop UKM, lebih dari 80% pedagang daring adalah usaha mikro dan kecil, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan pembinaan, bukan justru dibebani pajak.

Kritik juga ditujukan pada pungutan ekspor CPO dan rencana pungutan kakao. Menurut Alialudin, sejak 2015 dana BPDPKS yang berasal dari pungutan sawit tidak pernah transparan, dan kurang dari 10% dana tersebut sampai kepada petani kecil.

“Negara untung besar dari ekspor, tapi petani sawit dan kakao tetap hidup dalam kemiskinan struktural dampak dari minimnya campur tangan negara dalam mendorong kemampuan modal, industri dan pasar yang adil. Ini ironi fiskal yang menyakitkan,” ujarnya.

Mengenai rencana cukai MBDK, PB LMII menilai dalih pengendalian kesehatan tak lebih dari kamuflase, karena tidak diikuti kebijakan menyeluruh seperti pembatasan iklan dan edukasi publik. Pemerintah justru mengejar potensi penerimaan sebesar Rp6 triliun per tahun dari cukai ini.

Terkait rencana bea keluar batu bara dan emas, Alialudin memperingatkan bahwa kebijakan tersebut rentan dijadikan alat baru oligarki tambang untuk mengatur harga ekspor demi keuntungan elite.

“Jika negara tak mampu menjamin transparansi, maka yang diuntungkan hanyalah konglomerat tambang. Bea keluar bisa menjadi instrumen rente terselubung,” tambahnya.

Desakan Reformasi Pajak Berkeadilan

PB LMII menyerukan kepada pemerintah agar menghentikan kebijakan pajak yang cenderung regresif dan segera untuk Melakukan audit menyeluruh terhadap BPDPKS dan dana pungutan ekspor, Menindak tegas penghindaran pajak oleh korporasi besar, Meninjau ulang kebijakan fiskal yang membebani pelaku usaha kecil dan konsumen miskin.

“Jangan jadikan rakyat sebagai target pungutan negara, tanpa keadilan dan distribusi kesejahteraan yang konkret. Kami hanya mengingatkan kepada pemerintah hati-hati terhadap kebijakan fiskal yang setengah hati sebab didepan mata sekarang, kepercayaan publik terhadap sistem fiskal berpotensi runtuh total. Kami mencium aroma itu, kalau pemerintah masih bicara penguatan teknis pajak untuk tingkatkan penerimaan negara tapi miskin subtansi, tidak menyentuh akar rumput, tidak berkeadilan itu sama halnya merontokkan kepercayaan publik.” tutup Alialudin Hamzah.

LMII Transparan