Abstrak
Tulisan ini membahas perbedaan mendasar antara Islam Progresif dan Islam Reaksioner dalam lanskap sosial-politik kontemporer, dengan fokus pada konteks Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Islam Progresif dimaknai sebagai pendekatan keagamaan yang menekankan keadilan sosial, emansipasi, kebebasan berpikir, dan keberpihakan pada kelompok marjinal. Gerakan ini kerap diasosiasikan dengan pemikiran kritis tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti Muhammadiyah progresif, Nahdlatul Ulama kultural, dan jaringan intelektual Islam inklusif.
Sebaliknya, Islam Reaksioner merupakan model keislaman yang secara ideologis mempertahankan status quo kekuasaan, menolak pluralisme, serta cenderung menggunakan tafsir literal terhadap teks-teks agama. Kelompok ini menolak pemikiran kritis dan inovasi teologis (ijtihad), serta seringkali berkoalisi dengan kepentingan elite politik atau ekonomi demi menguatkan hegemoninya. Dalam praktiknya, Islam Reaksioner juga tampak melalui narasi politisasi syariat, penolakan terhadap demokrasi liberal, dan kampanye eksklusivisme agama yang meningkat dalam dua dekade terakhir.
Analisis ini menggunakan pendekatan historis dan sosiologis, mengacu pada data empiris seperti laporan riset Wahid Foundation (2022) yang menunjukkan bahwa intoleransi dan kekerasan berbasis agama di Indonesia masih tinggi, serta data dari Setara Institute yang mencatat peningkatan tindakan diskriminatif dari kelompok-kelompok keagamaan konservatif terhadap minoritas. Di sisi lain, narasi Islam Progresif terus mendorong reformasi pemikiran Islam, termasuk dalam isu-isu kesetaraan gender, ekologi, dan hak asasi manusia.
Secara global, ketegangan antara dua model Islam ini juga mencerminkan pergeseran geopolitik dan dinamika global pasca 11 September 2001, ketika diskursus tentang Islam dibingkai dalam konteks radikalisme dan kontra-terorisme. Tulisan ini menyimpulkan bahwa pertarungan antara Islam Progresif dan Reaksioner bukanlah konflik internal semata, tetapi juga medan pertarungan ideologis atas masa depan Islam dalam tata dunia yang semakin kompleks.
Pendahuluan
Islam adalah sistem nilai yang membentuk sikap politik, sosial, dan budaya umatnya. Dalam perkembangannya, pemahaman terhadap Islam mengalami pembelahan antara kelompok yang berpandangan progresif dan kelompok yang bersifat reaksioner. Pembelahan ini tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga ideologis dan praksis, mencerminkan dinamika antara pembebasan dan konservatisme dalam merespons tantangan zaman.
Islam tidak sekadar agama spiritual yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga merupakan sistem nilai komprehensif yang membentuk orientasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya umatnya. Dalam sejarah Islam, sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga era kontemporer, terdapat warisan intelektual dan praksis sosial-politik yang sangat beragam. Keanekaragaman ini menciptakan spektrum pemahaman Islam, dari yang sangat inklusif dan progresif hingga yang eksklusif dan reaksioner.
Seperti dicontohkan dalam Piagam Madinah, Islam hadir sebagai sistem sosial-politik yang menjamin hak warga negara lintas agama dan suku. Tokoh seperti Muhammad Iqbal bahkan menyebut Islam sebagai “a social democracy in the garb of a theocracy” sebuah sistem etis yang membebaskan.
Dalam perkembangannya, umat Islam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, mengalami pembelahan yang tajam antara kelompok yang berpandangan progresif yang menekankan pada prinsip keadilan sosial (‘adl), kebebasan berpikir (ijtihad), maqashid al-syari’ah, dan relevansi kontekstual teks-teks keagamaan—dengan kelompok reaksioner, yang cenderung mempertahankan tafsir literalis, formalisme hukum, serta membatasi ruang diskursus dan transformasi sosial atas nama kemurnian ajaran.
Di Mesir, pasca kejatuhan Ikhwanul Muslimin, wacana Islam Progresif mengalami pembungkaman oleh negara, sedangkan di Iran, negara justru memonopoli tafsir Islam secara reaksioner. Demikian menunjukkan bahwa pembelahan progresif-reaksioner bersifat transnasional, bukan khas Indonesia semata.
Tak hanya itu, Pembelahan tak hanya terjadi dalam ranah teologis, tetapi telah melebar ke ranah ideologis dan praksis politik. Misalnya, dalam konteks Indonesia pasca-Reformasi, kemunculan kelompok-kelompok Islam politik konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan jaringan dakwah Salafi-Wahabi, menunjukkan kecenderungan Islam Reaksioner yang menolak pluralisme, demokrasi, dan hak-hak sipil tertentu. Sebaliknya, kelompok-kelompok seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), komunitas Islam feminis (Rahima, Fahmina), serta beberapa bagian dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kultural, merepresentasikan bentuk Islam Progresif yang lebih terbuka terhadap dialog lintas agama, HAM, dan transformasi sosial.
Survei LSI tahun 2019 menunjukkan bahwa 48% responden setuju dengan penerapan syariat Islam di ruang publik, menunjukkan kuatnya pengaruh narasi Islam konservatif di tengah masyarakat. Hal ini diperparah dengan lemahnya literasi keagamaan kritis di kalangan generasi muda.
Teori-teori sosial dan politik kontemporer memberikan lensa penting untuk memahami pembelahan ini. Misalnya: Antonio Gramsci menjelaskan bahwa agama bisa menjadi alat dominasi ideologis jika dikooptasi oleh kekuasaan hegemonik, tetapi juga bisa menjadi kekuatan kontra-hegemonik ketika berfungsi sebagai basis kesadaran kritis rakyat tertindas.
Talal Asad dalam Formations of the Secular menunjukkan bahwa wacana Islam modern tidak terlepas dari konstruksi kolonial dan resistensi terhadap narasi sekularisme liberal.
Fazlur Rahman dan Abid al-Jabiri menekankan perlunya membongkar tradisi turats (warisan keislaman) secara kontekstual dan rasional, agar Islam tetap menjadi kekuatan pembebas, bukan penindas.
Dalam perspektif Arkoun, dominasi Islam Reaksioner terjadi karena praktik dehistorisasi dan desakralisasi terhadap realitas sosial. Hal itu diperkuat oleh kemampuan mereka menguasai ruang publik digital, sesuai dengan teori agenda-setting dalam komunikasi massa.
Secara faktual, pembelahan ini tampak dalam respons umat Islam terhadap isu-isu kontemporer seperti Keadilan gender dan kesetaraan perempuan dimana berdasarkan data Komnas Perempuan (2023) mencatat bahwa penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagian besar datang dari kelompok Islam konservatif dengan narasi moralitas agama yang sempit.
Selanjutnya tentang Krisis lingkungan hidup dimana Islam Progresif menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab terhadap bumi (QS. Al-Baqarah: 30), tetapi sebagian kelompok Islam Reaksioner justru mengabaikan isu ekologi dan lebih fokus pada agenda-agenda moral simbolik.
Dalam ruang digitalisasi dan media sosial membuka terang aksi sempit Islam reaksioner. Studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2022 menunjukkan bahwa penyebaran narasi Islam Reaksioner di media sosial mengalami peningkatan signifikan, terutama menjelang momen-momen politik elektoral, sedangkan Islam Progresif sering kesulitan menjangkau ruang digital karena minim dukungan logistik dan akses infrastruktur.
Misalnya, dalam kasus larangan penggunaan atribut Natal di ruang publik oleh beberapa ormas keagamaan, negara sering bersikap ambigu. Menurut laporan Human Rights Watch (2023), terdapat setidaknya 62 insiden pelanggaran kebebasan beragama oleh aktor non-negara yang tidak ditindak tegas oleh pemerintah.
Di sisi lain, Islam Progresif menghadapi tantangan internal berupa elitisasi wacana dan keterasingan dari basis umat. Keterbatasan akses terhadap platform dakwah populer membuat Islam Progresif kalah dalam perebutan opini publik, terutama di platform digital seperti TikTok dan YouTube.
Di tengah kompleksitas dunia modern diwarnai oleh ketimpangan ekonomi, krisis iklim, migrasi, disrupsi teknologi, dan polarisasi politik; Islam sebagai sistem nilai kembali diuji: apakah ia akan menjadi kekuatan transformatif yang membela kaum lemah, atau justru menjadi instrumen pelanggeng kekuasaan dan konservatisme sosial?
Pertanyaan ini menjadi semakin penting di era kontemporer ketika umat Islam tidak hanya ditantang untuk menjadi pribadi saleh secara ritual, tetapi juga dituntut untuk memberi jawaban yang adil dan solutif atas masalah-masalah zaman. Di sinilah pertarungan antara Islam Progresif dan Islam Reaksioner tidak bisa dihindari sebab keduanya memperebutkan ruang tafsir, pengaruh sosial, dan otoritas moral dalam membentuk arah peradaban Islam kontemporer.
Kerangka Teori
Tulisan ini dibangun di atas fondasi pemikiran sejumlah tokoh dan pendekatan teoritik kritis, yang secara kolektif mengarahkan analisis terhadap bagaimana Islam dipraktikkan dan dimobilisasi dalam arena sosial-politik kontemporer.
- Asghar Ali Engineer dan Abdul Wahab El-Messiri: Islam sebagai Gerakan Pembebasan
Asghar Ali Engineer, seorang teolog pembebasan asal India, mengembangkan wacana Liberation Theology in Islam, di mana Islam dipahami bukan sekadar sistem ritual dan hukum, tetapi sebagai sarana untuk membebaskan manusia dari struktur sosial yang menindas. Dalam bukunya Islam and Liberation Theology, ia menekankan bahwa keadilan sosial adalah inti dari pesan profetik.
Sementara itu, Abdul Wahab El-Messiri, pemikir Mesir, menekankan pentingnya membedakan antara “Islam sebagai sistem nilai” dan “Islam sebagai proyek kekuasaan”. Menurutnya, Islam tidak boleh dijadikan justifikasi bagi struktur dominasi. Dalam kerangka ini, Islam Progresif dipahami sebagai kekuatan kontra-hegemonik yang berpihak pada mustadh’afin (kaum tertindas), sebagaimana pesan moral utama dalam Al-Qur’an.
Studi dari Islamic Relief Worldwide (2021) menyebutkan bahwa pendekatan keislaman berbasis keadilan sosial berdampak signifikan dalam program pengurangan kemiskinan berbasis komunitas Muslim di wilayah konflik dan pasca-konflik.
- Antonio Gramsci: Hegemoni Ideologi dan Reproduksi Kekuasaan
Teori hegemoni Antonio Gramsci menjelaskan bahwa dominasi tidak hanya dilakukan secara koersif (kekerasan), tetapi juga secara ideologis melalui institusi agama, pendidikan, dan media. Dalam konteks ini, kelompok Islam Reaksioner sering berperan sebagai alat legitimasi kekuasaan dominan yang menindas rakyat dengan menggunakan bahasa moral dan agama.
Gramsci menyebut aktor-aktor ini sebagai “intelektual organik” yang menyebarkan ideologi status quo dalam kemasan moralitas agama. Islam Progresif berperan sebagai oposisi moral dan kultural, melawan wacana hegemonik melalui tafsir alternatif, pendidikan kritis, dan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.
Kooptasi agama oleh elite kekuasaan terlihat dari maraknya politisasi identitas dalam Pemilu 2017 dan 2019. Laporan The Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA, 2020) mencatat bahwa mobilisasi identitas keagamaan berkontribusi terhadap pembelahan sosial-politik yang tajam.
- Fazlur Rahman: Neo-Modernisme dan Reinterpretasi Teks
Fazlur Rahman, seorang pemikir asal Pakistan, menekankan pentingnya tafsir kontekstual terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bukunya Islam and Modernity, ia mengusulkan pendekatan “dua tingkat” (double movement): dari konteks wahyu ke prinsip moral universal, lalu ke aplikasi kontekstual saat ini.
Islam Progresif mengadopsi pendekatan ini untuk menghadirkan Islam sebagai agama yang hidup, terbuka terhadap perubahan sosial dan perkembangan pengetahuan. Sebaliknya, Islam Reaksioner mengedepankan pendekatan tekstual-literal dan menolak ijtihad kontemporer.
Dalam debat soal keadilan gender, tokoh-tokoh progresif seperti Musdah Mulia dan Nur Rofiah menggunakan pendekatan Rahman untuk mendobrak tafsir misoginis yang telah mengakar di masyarakat.
Islam Progresif: Agama sebagai Emansipasi Sosial
Islam Progresif mengakar pada nilai-nilai pembebasan, dengan ciri khas sebagai berikut:
- Kritis terhadap kekuasaan yang menindas, baik negara otoriter maupun oligarki agama yang memanipulasi otoritas moral. Ini tercermin dalam kritik terhadap ormas yang membungkam kebebasan berpikir dan aktivis yang melawan korupsi berbungkus syariat.
- Berpihak pada kelompok marginal, termasuk perempuan, minoritas agama, buruh, dan kelompok rentan lainnya. Misalnya, komunitas Islam Progresif aktif dalam mendukung RUU PKS, kebebasan beragama, serta hak-hak buruh migran.
- Mendorong reinterpretasi teks berdasarkan maqashid al-syari’ah (tujuan syariat), seperti keadilan, kemaslahatan, dan kebebasan individu.
- Berbasis pada aksi sosial, seperti pendidikan kritis, kerja komunitas, advokasi hukum, dan solidaritas lintas iman. Di sinilah Islam Progresif tidak hanya berbicara di ruang wacana, tapi juga bertindak di ruang sosial.
Sebagai contoh, Muhammadiyah Muda mendorong gerakan Islam yang bersentuhan dengan isu perubahan iklim dan pendidikan kritis. Gus Dur memperjuangkan hak minoritas Tionghoa dan Ahmadiyah. Jaringan Islam Liberal meski penuh kontroversi, memperkenalkan pendekatan rasional terhadap hukum Islam.
Islam Reaksioner: Agama sebagai Alat Status Quo dan Kekuasaan
Islam Reaksioner merupakan bentuk keislaman yang menekankan formalisasi syariat, misalnya mendukung Perda Syariah yang diskriminatif tanpa memperhatikan keragaman masyarakat dan konteks hukum nasional. Anti-ijtihad dan anti-narasi baru, bahkan menolak ulama-ulama kontemporer yang mencoba mengontekstualisasikan fiqh (seperti Quraish Shihab atau Buya Syafii Maarif). Mendukung dominasi elite agama dan negara, di mana tokoh agama digunakan untuk membenarkan kebijakan otoriter, seperti pelarangan demonstrasi, pembungkaman aktivis, atau korupsi berjubah dakwah. Eksklusif dan puritan, menganggap kebenaran hanya milik kelompoknya, serta menolak pluralisme sebagai bid’ah atau penyimpangan.
Sebagai contoh nyata, HTI mendorong khilafah global dan menolak demokrasi. Sejumlah tokoh agama menjadi pendukung kekuasaan politik korup, yang disamarkan sebagai “membela umat”. Praktik ujaran kebencian dan persekusi terhadap minoritas (Ahmadiyah, Syiah, Kristen) sering kali bersumber dari tafsir keagamaan reaksioner.
Kerangka teoritik ini menunjukkan bahwa pertarungan antara Islam Progresif dan Reaksioner tidak hanya bersifat keagamaan, melainkan juga pertarungan atas tafsir, kekuasaan, dan masa depan peradaban Islam. Islam Progresif menempatkan agama sebagai kekuatan moral untuk pembebasan dan perubahan, sedangkan Islam Reaksioner memposisikan agama sebagai benteng kekuasaan yang menolak transformasi sosial.
Pertarungan Wacana di Ruang Publik
Perdebatan antara Islam Progresif dan Islam Reaksioner tidak lagi berada pada level akademik atau diskursus teoritik semata, melainkan telah merambah secara konkret ke ruang-ruang politik, media sosial, kebijakan publik, hingga kehidupan keagamaan sehari-hari umat Islam di Indonesia. Pertarungan ini menyangkut perebutan makna, tafsir, dan arah masa depan Islam Indonesia: apakah akan menjadi kekuatan emansipatoris yang membela keadilan sosial, atau menjadi alat konservatisme politik dan budaya yang justru mempertahankan status quo ketimpangan.
- UU Pesantren dan Politisasi Dakwah
UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren awalnya disambut sebagai pengakuan negara terhadap kemandirian pendidikan pesantren. Namun dalam praktiknya, terdapat kekhawatiran bahwa negara justru ingin menstandardisasi dan mengontrol isi pendidikan serta arah politik pesantren. Hal ini terlihat dari pasal-pasal yang membuka peluang intervensi pemerintah terhadap kurikulum dan pendanaan. Penelitian Maarif Institute tahun 2021 mencatat bahwa sebagian pesantren mulai diarahkan untuk mendukung narasi nasionalisme sempit dan menjadi alat kampanye kekuasaan menjelang Pemilu. Dalam konteks ini, Islam Progresif mengkritik kecenderungan negara menjadikan dakwah sebagai instrumen depolitisasi rakyat dan kooptasi elite.
- Radikalisme dan Kontra-Radikalisme
Narasi radikalisme Islam sering digunakan oleh negara untuk melegitimasi kebijakan keamanan dan pengawasan terhadap umat Islam, terutama pasca tragedi bom-bom besar tahun 2000-an. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kementerian Agama telah meluncurkan berbagai program kontra-radikalisasi. Namun, kritik datang dari kalangan progresif bahwa kebijakan ini seringkali justru menyasar ekspresi keislaman kritis, bukan yang benar-benar mengancam keamanan. Laporan Setara Institute (2022) mengungkapkan bahwa label “radikal” kerap digunakan untuk membungkam aktivisme Islam yang bersuara melawan ketidakadilan, terutama dari kalangan mahasiswa dan ormas Islam yang menentang oligarki politik.
Sementara Islam Reaksioner justru memanfaatkan wacana kontra-radikalisme untuk meneguhkan otoritasnya, membingkai Islam sebatas moralitas individual, serta mendukung represi terhadap suara-suara progresif atas nama stabilitas.
- Peran Ulama dalam Pemilu
Dalam setiap kontestasi Pemilu, baik nasional maupun lokal, ulama dan tokoh agama sering kali dikooptasi menjadi mesin legitimasi politik. Dalam konteks ini, Islam Reaksioner terlibat aktif sebagai pendukung rezim, bahkan dengan menghalalkan politik identitas yang eksklusif. Dalam Pilpres 2019, misalnya, kedua kubu memanfaatkan sentimen keagamaan baik untuk membangun dukungan atau menyerang lawan dengan melibatkan tokoh-tokoh agama secara frontal.
Islam Progresif justru menyerukan pembebasan ruang publik dari manipulasi identitas agama demi kepentingan kekuasaan. Ulama dalam Islam Progresif didorong untuk menjadi moral force yang mengkritisi struktur ketidakadilan dan oligarki, bukan menjadi political broker.
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023, 64% responden Muslim mengaku memilih calon berdasarkan “rekomendasi tokoh agama”, menunjukkan betapa kuatnya penetrasi Islam ke dalam politik elektoral dan pentingnya perebutan makna Islam yang terjadi.
- Perempuan dalam Ruang Publik Islam
Salah satu medan penting pertarungan wacana adalah soal posisi perempuan. Islam Progresif mendorong reinterpretasi ayat dan hadits agar selaras dengan prinsip kesetaraan gender. Tokoh seperti Musdah Mulia dan Lies Marcoes menyuarakan pentingnya perempuan Muslim aktif dalam ruang publik, kepemimpinan, dan tafsir keagamaan. Gerakan seperti KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) menjadi bukti konkret perlawanan terhadap dominasi patriarki dalam tafsir keislaman.
Sebaliknya, Islam Reaksioner cenderung menolak perempuan menjadi ulama atau pemimpin publik, dengan dalih dalil fiqh klasik. Di media sosial, muncul kampanye “kembali ke kodrat” yang menekan perempuan agar tetap di ruang domestik. Ini diperparah oleh sebagian ormas dan lembaga pendidikan Islam konservatif yang menolak kurikulum kesetaraan gender, dengan anggapan sebagai “westernisasi” atau “agenda liberal.”
Pertarungan antara Islam Progresif dan Islam Reaksioner di ruang publik Indonesia adalah pertarungan ideologis yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar beda pendapat. Ia menyangkut hegemoni tafsir, kepentingan kekuasaan, serta masa depan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia. Dalam konteks ini, Islam Progresif bukan hanya menawarkan narasi alternatif, tetapi juga proyek politik dan kultural yang menempatkan agama sebagai kekuatan transformatif bagi perubahan struktural menuju keadilan.
Implikasi Sosial dan Politik
Pertarungan antara Islam Progresif dan Islam Reaksioner tidak hanya berdampak pada ranah teologis atau intelektual, tetapi secara langsung membentuk dinamika sosial-politik umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
- Islam Progresif: Membuka Ruang Demokrasi dan Transformasi Sosial
Islam Progresif berperan penting dalam memperkuat fondasi demokrasi substansial di Indonesia. Dengan menekankan prinsip keadilan sosial (al-‘adl), kesetaraan (al-musawah), dan penghormatan terhadap kemanusiaan (al-insaniyah), arus pemikiran ini menjadi landasan ideologis bagi gerakan-gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak rakyat dan reformasi struktural.
Dampak sosial-politik Islam Progresif:
Penguatan masyarakat sipil dimana Organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, melalui lembaga otonomnya seperti LAKPESDAM dan Maarif Institute, berkontribusi besar dalam membangun diskursus Islam yang inklusif dan berkeadaban.
Pendorong reformasi kebijakan publik bahwasanya Gagasan Islam Progresif memberi legitimasi moral terhadap kebijakan yang pro-rakyat, seperti reformasi pendidikan, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan pendekatan deradikalisasi yang berbasis dialog.
Advokasi hak perempuan tokoh seperti Siti Musdah Mulia menekankan bahwa kesetaraan gender adalah bagian integral dari maqashid al-syari’ah. Ini mendorong munculnya fatwa-fatwa progresif tentang perempuan imam, pernikahan anak, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Penghormatan terhadap pluralisme juga menjadi bagian penting.Islam Progresif menolak sektarianisme dan memandang keragaman sebagai sunnatullah. Hal ini memperkuat kohesi sosial di tengah kebinekaan Indonesia.
- Islam Reaksioner: Menutup Ruang Kritis dan Merawat Politik Identitas
Sebaliknya, Islam Reaksioner cenderung mempersempit demokrasi dan mengancam kohesi sosial dengan mengusung ideologi eksklusif dan konservatisme politik. Dalam bentuknya yang ekstrem, ini mewujud dalam: Politik identitas berbasis agama dengan munculnya gerakan 212 dan politisasi ayat-ayat agama dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh nyata. Di balik kampanye “moral”, terdapat eksploitasi emosi keagamaan untuk tujuan politik elektoral.
Tak hanya itu, pemberangusan kritik juga terjadi. Beberapa tokoh atau ormas reaksioner sering melabeli perbedaan pendapat sebagai “liberal”, “kafir”, atau “sesat”, sehingga menghambat iklim diskusi yang sehat dalam umat Islam.
Selanjutnya, Legitimasi terhadap otoritarianisme makin marak. Sebagian tokoh agama mendukung penguasa korup dengan dalih menjaga “stabilitas”, bahkan memberi pembenaran terhadap kebijakan yang diskriminatif terhadap minoritas atau pembungkaman terhadap aktivis.
Laporan BNPT tahun 2021 menyebutkan bahwa penyebaran paham radikal berbasis teks-teks agama literal terjadi masif di kalangan pelajar dan mahasiswa, terutama melalui media sosial dan kajian-kajian informal tanpa pengawasan moderasi pemahaman keagamaan.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) bermasalah, imbas dari kedangkalan pandangan tekstual dimana pada 2022 mengalami penurunan dari 6,71 menjadi 6,3 (Freedom House, 2022). Salah satu faktor yang disorot adalah meningkatnya intoleransi berbasis agama.
Laporan SETARA Institute (2023) mencatat 75 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagian besar dilakukan oleh kelompok intoleran yang mengklaim membela “Islam murni”.
Survei PPIM UIN Jakarta (2019) menyatakan bahwa 62,7% guru agama di Indonesia memiliki pandangan keagamaan yang eksklusif, dan 21% menyatakan tidak keberatan dengan sistem khilafah menggantikan demokrasi.
Kesimpulan
Pertarungan antara Islam Progresif dan Islam Reaksioner bukanlah sekadar konflik pemikiran atau perdebatan wacana akademik, melainkan sebuah perebutan pengaruh yang menentukan arah keberagamaan umat Islam dalam menjawab realitas kontemporer yang kompleks. Dalam konteks Indonesia, negara demokrasi dengan populasi Muslim terbesar di dunia, perdebatan ini mengambil bentuk yang sangat nyata dalam kebijakan negara, arah pendidikan keagamaan, peran ulama dalam politik elektoral, serta artikulasi norma-norma sosial dalam ruang publik.
Islam Progresif, yang menekankan keadilan sosial, hak asasi manusia, pembebasan perempuan, demokrasi partisipatif, dan solidaritas lintas identitas, bukan hanya relevan sebagai pilihan ideologis, tetapi telah menjadi kebutuhan zaman. Dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, kapitalisme predator, otoritarianisme digital, serta menguatnya polarisasi identitas, pendekatan Islam yang terbuka terhadap ijtihad sosial dan nilai-nilai universal menjadi kunci untuk membangun masa depan yang lebih berkeadaban.
Pendekatan ini mendapat legitimasi dari sejarah peradaban Islam sendiri, sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, dan Syafi’i Ma’arif yang memperjuangkan Islam inklusif dan pluralis dalam konteks keindonesiaan. Bahkan dalam lanskap global, tokoh-tokoh seperti Tariq Ramadan, Amina Wadud, dan Fazlur Rahman telah menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi kekuatan emansipatoris dalam masyarakat modern.
Sebaliknya, Islam Reaksioner cenderung memperkuat politik identitas yang eksklusif, menolak pembaruan pemikiran, dan seringkali menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang otoriter. Dalam banyak kasus, pendekatan ini juga dimanfaatkan oleh elit politik untuk mengendalikan opini publik melalui simbolisme agama, seperti dalam kasus pembelahan sosial akibat politisasi agama dalam Pemilu 2017 dan 2019 di Indonesia. Bahkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa sebagian besar narasi intoleran dan radikal tumbuh subur di ruang-ruang sosial yang dipengaruhi oleh pemahaman Islam konservatif yang anti-demokrasi.
Dalam tataran global, Islam Reaksioner juga terlihat dalam gelombang fundamentalisme yang melanda sejumlah negara Muslim pasca-Arab Spring, yang justru melahirkan kekacauan politik baru dan menghambat proses demokratisasi. Ketika agama dijadikan benteng resistensi terhadap modernitas dan hak asasi, maka umat akan kehilangan kemampuan kritis untuk menavigasi tantangan zaman secara adil dan rasional.
Dengan demikian, dalam menghadapi tantangan sosial-ekologis seperti krisis iklim, kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi global, dan disrupsi teknologi yang masif, hanya Islam Progresif yang mampu merumuskan respons yang transformatif. Ini adalah panggilan untuk menjadikan Islam bukan sekadar warisan dogmatis, melainkan kekuatan etis dan praksis untuk perubahan sosial yang berkelanjutan.
Islam Progresif harus dipandang tidak pada kebutuhan bagi umat muslim, tetapi juga kebutuhan bangsa dan dunia yang tengah mencari arah etika baru dalam menghadapi abad ke-21.
Daftar Pustaka
- Engineer, Asghar Ali. Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam. Sterling Publishers, 1990.
- Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.
- Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press, 1982.
- El-Messiri, Abdul Wahab. Islamic Epistemology and Civilization. IIIT, 1997.
- Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan, 1987.
- Hasyim, Syafiq. Understanding Muslim Discourse on Human Rights in Indonesia. Mizan, 2011.