Tauhid sebagai Revolusi Kesadaran Sosial : Perspektif LMII

Abstrak

Tulisan seadanya ini, berupaya menghadirkan pemahaman yang mendalam mengenai konsep tauhid sebagai basis transformasi sosial dari sudut pandang ideologis Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII). Tauhid dimaksudkan tidak sekadar dipahami sebagai pernyataan ketuhanan dalam ranah spiritual semata, tetapi juga sebagai prinsip pembebasan yang menolak semua bentuk penghambaan selain kepada Tuhan.

Dalam konteks historis, tauhid adalah kekuatan revolusioner yang menggerakkan para utusan Tuhan di muka bumi ini. Nabi Muhammad SAW bergerak totalitas untuk melawan struktur oligarki Quraisy, menentang ketimpangan sosial-ekonomi, dan membebaskan kaum tertindas dari belenggu perbudakan. Sejarah tekstual perjuangan Islam awal membuktikan bahwa tauhid melahirkan kesadaran kelas dan solidaritas sosial berbasis nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan anti-penindasan.

Dalam tradisi pemikiran Islam progresif, seperti yang dikembangkan oleh Ali Syariati, tauhid dimaknai sebagai penolakan terhadap taghut segala bentuk kekuasaan tiranik yang menggantikan posisi Tuhan. Pemaknaan itu sejalan dengan semangat LMII yang mengusung garis perjuangan Islam Progresif Nusantara, yakni sebuah pendekatan yang memadukan nilai-nilai spiritual Islam dengan praksis sosial-politik kerakyatan di Indonesia.

Tauhid, dalam kerangka ini, menjadi landasan bagi perlawanan terhadap kapitalisme global yang menjajah sumber daya negara-negara muslim maupun negara-negara berkembang, neoliberalisme yang menciptakan jurang kaya dan miskin, serta otoritarianisme negara yang menghambat demokrasi substantif.

Fakta menunjukkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi global semakin memburuk. Laporan Oxfam tahun 2024 mengungkap bahwa 1% orang terkaya di dunia memiliki hampir dua kali lipat kekayaan yang dimiliki oleh 99% sisanya. Di Indonesia, laporan BPS tahun 2023 mencatat bahwa indeks gini tetap tinggi di angka 0,388, menunjukkan kesenjangan distribusi pendapatan yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, pembacaan kritis terhadap tauhid menjadi penting sebagai kekuatan ideologis untuk membongkar struktur penindasan tersebut. Sebab tauhid tidak berdamai dengan sistem yang menciptakan tuhan-tuhan palsu dalam bentuk pasar bebas, negara otoriter, ataupun kekuasaan modal yang menindas rakyat.

LMII menempatkan tauhid sebagai sumber energi ideologis yang membangun kesadaran kolektif umat untuk melawan sistem yang zalim. Demikian sejalan dengan upaya membangun teologi pembebasan (liberation theology) dalam tradisi intelektual Islam, yang menyerukan agar agama tidak dimonopoli oleh elite, tetapi menjadi milik rakyat yang tertindas.

Dengan berpijak pada pendekatan sejarah dan fakta kontemporer, tulisan ini menegaskan bahwa tauhid adalah fondasi utama dalam perjuangan kelas di Indonesia maupun dunia. Tauhid adalah ide revolusioner yang menolak kompromi dengan penindasan dalam bentuk apapun baik yang dilakukan oleh kolonialisme gaya lama, kapitalisme global, maupun rezim nasional yang menjadi antek modal internasional.

Maka, membaca dan mengamalkan tauhid secara kritis adalah langkah awal menuju kesadaran, pembebasan, dan pembentukan tatanan sosial baru yang berkeadilan.

Pendahuluan

Dalam konteks peradaban modern yang diwarnai oleh dominasi kapitalisme global, krisis ekologi, dan ketimpangan sosial, konsep tauhid sering kali direduksi menjadi sekadar ajaran individual-spiritual. Padahal dalam sejarahnya, tauhid adalah sebuah proklamasi perlawanan terhadap ketertundukan manusia pada segala bentuk tirani kekuasaan dan sistem sosial yang menindas.

Bagi Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII), pembacaan tauhid harus dikembalikan pada watak aslinya sebagai doktrin pembebasan. Tauhid adalah penegasan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih tinggi daripada Tuhan, dan oleh karenanya, tidak boleh ada penindasan antar sesama manusia. LMII memaknai tauhid sebagai kesadaran untuk meruntuhkan berhala-berhala modern berupa korporasi rakus, oligarki politik, dan negara yang tidak berpihak pada rakyat.

Dalam era peradaban modern yang semakin didominasi oleh kapitalisme global, krisis ekologis yang kian parah, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar, konsep tauhid kerap direduksi menjadi sekadar ajaran personal dan spiritual yang terpisah dari dinamika sosial-politik. Pengertian tauhid yang sempit ini mengabaikan dimensi revolusioner dan transformatif yang melekat pada ajaran tauhid dalam sejarah panjang peradaban Islam. Padahal, tauhid sesungguhnya adalah proklamasi radikal yang menentang segala bentuk tirani kekuasaan dan sistem sosial yang menindas dan mengeksploitasi manusia.

Dari sudut pandang ideologis Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII), pembacaan tauhid harus dikembalikan pada esensinya sebagai doktrin pembebasan sosial. Tauhid menegaskan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih tinggi selain Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tidak boleh ada penindasan dan eksploitasi antar sesama manusia yang diciptakan-Nya.

LMII menempatkan tauhid sebagai landasan ideologis perjuangan melawan struktur ketidakadilan sosial dan penindasan sistemik yang menjadi akar dari kemiskinan, ketimpangan, dan krisis ekologis yang terjadi di Indonesia dan dunia.

Dalam konteks ini, sekaliblagi tauhid tidak hanya berbicara soal ibadah ritual dan keimanan individual, tetapi juga sebagai dasar etika sosial-politik yang mendorong gerakan rakyat untuk mengubah tatanan yang tidak adil. Tauhid menjadi spirit pembebasan yang menuntut keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai khalifah di bumi, yang harus bebas dari segala bentuk dominasi dan eksploitasi.

Definisi dan Landasan Konseptual Tauhid

Tauhid berasal dari bahasa Arab wahhada-yuwahhidu-tauhīdan, yang secara etimologis berarti “mengesakan” atau “menjadikan satu”. Dalam pengertian teologis Islam, tauhid merupakan fondasi utama akidah, yaitu keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan, Allah, yang berhak disembah (lā ilāha illā Allāh). Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fi al-I’tiqad menjelaskan bahwa tauhid bukan hanya afirmasi terhadap eksistensi Tuhan, tetapi juga pengakuan total terhadap otoritas dan kekuasaan mutlak-Nya dalam segala aspek kehidupan.

Tauhid dipahami sebagai pengakuan atas keesaan Tuhan (monoteisme) dan penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan. Namun, Ali Shariati, seorang pemikir revolusioner Iran, memperluas makna tauhid sebagai bentuk kesadaran sosial-politik untuk melawan struktur penindasan. “Tauhid berarti menolak segala bentuk dominasi manusia atas manusia.”

Dalam tradisi tauhid kalam klasik, tauhid terbagi menjadi tiga dimensi utama:

  1. Tauhid Rububiyyah yaitu pengakuan bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur, dan menguasai alam semesta.
  2. Tauhid Uluhiyyah yaitu pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah tanpa menyekutukan-Nya.
  3. Tauhid Asma wa Sifat yaitu keyakinan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunnah.

Namun dalam kerangka sosial-politik, pemaknaan tauhid tidak berhenti pada tataran teologis saja. Ali Shariati, seorang pemikir revolusioner dari Iran, mengartikulasikan tauhid sebagai konsep pembebasan. Baginya, tauhid adalah “penolakan terhadap semua bentuk penindasan manusia oleh manusia lainnya.” Dalam karya-karyanya seperti Tawhid: Oneness of God, Shariati menyatakan bahwa tauhid meniscayakan runtuhnya segala bentuk taghut (tirani kekuasaan) yang membelenggu kebebasan manusia.

Pandangan ini berakar pada semangat profetik Islam yang termaktub dalam perjuangan Nabi Ibrahim melawan Namrud dan Nabi Musa melawan Firaun, di mana tauhid menjadi dasar perlawanan terhadap sistem yang zalim dan eksploitatif. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl [16]:36: “Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut’.”

Dalam konteks gerakan mahasiswa Islam, seperti Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII), tauhid dimaknai sebagai prinsip ideologis sekaligus praksis politik. Tauhid tidak hanya bersifat individual dan spiritual, tetapi menjadi kekuatan transformatif yang melandasi perjuangan sosial. Prinsip amar ma’ruf nahi munkar menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran dijadikan sebagai kompas gerakan untuk menentang struktur sosial yang timpang, menolak hegemoni oligarki, dan membela kaum tertindas (mustadh’afin). pemahaman tersebut diperkuat dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi basis gerakan mahasiswa Islam untuk menghadirkan perubahan sosial dan melawan struktur yang tidak adil.

LMII memandang bahwa tauhid adalah kesadaran kritis untuk meruntuhkan modern idols (berhala-berhala modern) berupa kapitalisme global, kolonialisme budaya, dan negara yang tunduk pada kepentingan korporasi. Tauhid dalam kerangka ini bukan hanya doktrin teologis semata, tetapi ideologi pembebasan yang membentuk kesadaran kelas dan keberpihakan pada keadilan sosial. Ini selaras dengan pemikiran pemikir kontemporer seperti Farid Esack dan Hassan Hanafi yang menekankan bahwa tauhid harus dipahami sebagai proyek emansipatoris, bukan hanya personal-religius tetapi juga politiko-ekologis.

Dengan demikian, landasan konseptual tauhid yang diusung LMII berpijak pada penggabungan antara nilai-nilai keimanan yang transendental dengan komitmen praksis sosial yang membebaskan. Tauhid adalah manifestasi iman yang hidup, bergerak, dan berpihak, tidak sekadar dalam shalat dan doa, tetapi dalam aksi-aksi melawan ketidakadilan struktural dan membangun peradaban yang berkeadilan.

Tauhid dan Sejarah Perlawanan

Dalam catatan sejarah kenabian, tauhid tidak hanya dimaknai sebagai keyakinan terhadap keesaan Tuhan, tetapi juga sebagai landasan ideologis yang mendorong aksi perlawanan terhadap sistem penindasan. Nabi Ibrahim AS, yang hidup pada masa kekuasaan Raja Namrud di Babilonia, menolak tunduk pada struktur kekuasaan tiran dan menantang secara langsung dominasi politik serta agama resmi kerajaan. Tindakan Ibrahim menghancurkan berhala yang dianggap sebagai lambang dewa-dewa kekuasaan adalah bentuk konkret dari pembebasan spiritual dan sosial. Tindakan ini terekam dalam Al-Qur’an (QS. Al-Anbiya: 57-70) dan menjadi simbol keberanian dalam membongkar tatanan yang mapan namun zalim.

Demikian pula Nabi Musa AS memimpin Bani Israil keluar dari Mesir sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Fir’aun yang menindas secara sistematis, melalui perbudakan, kekerasan, dan pemusnahan generasi. Kisah Musa yang menghadap Fir’aun (QS. Taha: 24-48) tidak hanya bermakna teologis, tetapi juga menggambarkan aksi pembebasan politik terhadap penjajahan struktural. Sementara itu, Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya di Mekkah dalam lingkungan yang dikuasai oleh rezim Quraisy yang oligarkis, memonopoli perdagangan, dan menindas kelompok lemah. Tauhid menjadi doktrin utama yang tidak hanya menolak politeisme, tetapi juga mengguncang sistem ekonomi-politik jahiliah yang berpusat pada kesenjangan sosial dan eksploitasi.

Sejarawan Marshall Hodgson dalam karyanya The Venture of Islam mencatat bahwa Islam awal lahir sebagai gerakan yang sangat menekankan nilai egalitarianisme, yang kemudian menjadi ancaman bagi tatanan elite-tribalis Mekkah. Konsep tauhid, dalam konteks tersebut, menjelma sebagai doktrin revolusioner yang membebaskan manusia dari semua bentuk penghambaan baik terhadap patung, sistem kasta, maupun dominasi ekonomi dan politik. Maka tidak mengherankan jika para nabi tidak sekadar mengajarkan doa dan ritual, melainkan juga memimpin revolusi sosial yang mengubah lanskap peradaban secara fundamental.

Dengan demikian, sejarah membuktikan bahwa tauhid adalah inti dari proyek emansipasi manusia. Sejarah menjadi pondasi ideologis dalam membangun peradaban yang bebas dari eksploitasi, menolak kultus individu, dan mendorong terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Tafsir ini menjadi penting untuk ditekankan oleh generasi muda Islam, khususnya dalam gerakan mahasiswa seperti Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII), agar pemahaman terhadap tauhid tidak direduksi hanya pada aspek spiritual, tetapi juga dimaknai sebagai kekuatan etik dan politis untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dalam kehidupan kontemporer.

Tauhid dan Kesadaran Kelas

Dalam perjalanan panjang, Tauhid juga dipahami sebagai fondasi radikal bagi perubahan sosial dan pembebasan manusia. Dalam Islam, tauhid menegaskan keesaan Tuhan sebagai pusat otoritas tunggal yang menolak segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya, termasuk penghambaan struktural kepada sistem ekonomi yang menindas, rezim politik yang otoriter, dan relasi sosial yang timpang. Sejarah Islam membuktikan bahwa tauhid merupakan titik tolak seluruh gerakan perlawanan profetik: Nabi Ibrahim AS melawan Namrud sebagai simbol despotisme kekuasaan dan kezaliman berhala struktural; Nabi Musa AS menantang Fir’aun, penguasa absolut yang menindas Bani Israil; Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan rezim oligarki Quraisy yang menciptakan jurang kekayaan di tengah masyarakat Mekah yang feodal dan kapitalistik. Semua perjuangan itu adalah perjuangan dalam menegakkan keadilan sosial atas nama tauhid.

Soekarno dalam pemikirannya tentang “marhaenisme” juga menempatkan kesadaran kelas sebagai poros utama perjuangan rakyat tertindas. Beliau berbicara tentang penindasan kaum marhaen oleh struktur kapitalisme kolonial yang tidak hanya mengeksploitasi secara ekonomi, tetapi juga menundukkan martabat manusia. Gagasan ini sejatinya sejalan dengan semangat tauhid Islam yang membebaskan manusia dari belenggu struktur dan kekuasaan yang tidak adil. Dalam pidato-pidatonya, Soekarno menekankan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang senafas dengan nilai-nilai tauhid yang menolak segala bentuk persekutuan kekuasaan antara manusia dengan sesama manusia atas dasar kelas dan kekayaan.

Ketimpangan ekonomi global saat ini merupakan bukti bahwa tauhid sebagai kesadaran pembebas belum dijadikan landasan utama dalam sistem sosial kita. Menurut laporan Oxfam tahun 2024, satu persen orang terkaya di dunia menguasai lebih dari 50% kekayaan global. Di Indonesia, laporan Bank Dunia tahun 2023 mencatat bahwa 10% elit ekonomi menguasai sekitar 77% total kekayaan nasional. Ketimpangan tersebut bagian dari masalah ideologis yang menandakan bahwa kekuasaan dan kekayaan telah dijadikan berhala baru dalam masyarakat modern. Dalam konteks ini, tauhid tidak sekadar dipahami sebagai ajaran individual yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, melainkan sebagai energi sosial yang mengarahkan manusia untuk membongkar sistem ketidakadilan dan membangun masyarakat yang adil dan setara.

Kesadaran tauhidik yang sejati adalah kesadaran tentang keesaan Tuhan yang mendorong perlawanan terhadap sistem yang membiarkan eksploitasi berlangsung. Sama seperti Soekarno membangkitkan rakyat dengan semangat marhaenisme untuk melawan ketidakadilan kolonial dan kapitalisme internasional, maka umat Islam juga semestinya membangkitkan kesadaran tauhid untuk membebaskan umat dari penindasan struktural baik yang datang dari dalam negeri maupun dari sistem global. Tauhid tidak sekadar dogma yang pasif, tetapi api revolusi yang menyala dari dalam dada orang-orang beriman untuk menuntut keadilan sosial sebagai manifestasi iman yang sejati.

Dalam kesimpulan reflektif ini, maka menjadi penting bagi setiap gerakan sosial yang berakar pada nilai-nilai Islam untuk meletakkan tauhid bukan hanya sebagai fondasi spiritual, tetapi juga sebagai ideologi pembebasan yang mampu menantang ketimpangan ekonomi, hegemoni elit politik, dan monopoli kekuasaan. Tauhid dan keadilan sosial adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Menyuarakan tauhid tanpa memperjuangkan keadilan adalah kemunafikan; memperjuangkan keadilan tanpa menautkannya pada kesucian tauhid adalah kekeringan spiritual. Tauhid sejatinya adalah energi rakyat untuk bangkit melawan tirani; sebuah kesadaran kelas dalam kerangka ketuhanan.

Tauhid Spritual versus Tauhid Politik

Tauhid sebagai Landasan Transformatif sejatinya menolak Spiritualitas Individualistik dan menegaskan Tauhid Sosial-Politik. Dalam dinamika sejarah Islam, tauhid senantiasa menjadi fondasi utama dalam membentuk cara pandang manusia terhadap Tuhan, sesama manusia, dan struktur kehidupan sosialnya. Namun, pemaknaan atas tauhid tidak tunggal. Dalam tradisi spiritual yang berkembang pasca kolonialisme, tauhid kerap dipahami secara eksklusif sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Tauhid spiritual itu jelas melahirkan bentuk religiositas yang menekankan pada ibadah ritual, kesalehan personal, dan pengasingan dari realitas dunia yang timpang. Dalam konstruksi seperti itu, agama dijalankan sebagai praktik kesunyian, bukan sebagai kekuatan pembebasan.

Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII) hadir dengan penegasan bahwa tauhid harus ditarik kembali ke ranah sosial-politik. Tauhid bukan hanya kesadaran ilahiah dalam diri, tetapi sekaligus kesadaran historis tentang realitas ketimpangan, penindasan, dan ketidakadilan struktural yang berlangsung dalam masyarakat. Tauhid adalah penegasan bahwa tidak ada kekuasaan mutlak selain Allah, dan karena itu segala bentuk dominasi baik ekonomi, politik, maupun kultural yang menindas manusia harus dilawan.

Pemaknaan tauhid secara sosial-politik bukan hal baru. Presiden Soekarno dalam pidato-pidato ideologisnya kerap menekankan bahwa “ketuhanan” dalam Pancasila bukan sekadar soal ibadah formal, tetapi harus menjadi daya dorong perjuangan melawan kolonialisme dan penindasan bangsa. Tauhid, dalam perspektif LMII, memiliki makna yang senafas dengan semangat ini.

Kenyataan empiris memperkuat pentingnya pemahaman ini. Laporan Oxfam tahun 2024 mengungkap bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai lebih dari 50% kekayaan global. Di Indonesia, ketimpangan lebih parah lagi. Bank Dunia dalam laporannya tahun 2023 menunjukkan bahwa 10% elit ekonomi menguasai sekitar 77% kekayaan nasional. Angka-angka tersebut merupakan fakta ketidakadilan struktural yang menjauhkan manusia dari martabat kemanusiaannya yang setara. Dalam situasi seperti ini, tauhid spiritual saja tidak cukup. Diperlukan tauhid sosial-politik yang mengarah pada aksi kolektif, pembongkaran struktur penindasan, serta penegakan keadilan sosial sebagai refleksi dari iman.

LMII menolak formalisasi agama yang menjauh dari realitas. Tauhid bukan sekadar zikir, tapi juga aksi. Ia menuntut keberpihakan, bukan netralitas. Ia menuntut gerakan, bukan sekadar pengajian. Tauhid yang diam di hadapan ketidakadilan adalah tauhid yang kehilangan ruhnya. Oleh karena itu, perjuangan mahasiswa Islam hari ini haruslah berlandaskan pada tauhid yang aktif—tauhid yang tidak hanya menundukkan diri kepada Tuhan, tetapi juga menolak menunduk pada sistem yang menindas.

Tauhid dan Kondisi Sosial Indonesia

Tauhid merupakan seruan revolusioner yang membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan modern yang hari ini bersembunyi dalam struktur ekonomi, politik, dan budaya yang menindas. Dalam konteks Indonesia kontemporer, nilai-nilai tauhid menghadapi tantangan berat akibat dominasi sistem yang menuhankan uang, kekuasaan, dan korporasi sebagai otoritas tertinggi, menggantikan peran nilai ilahiah dalam membentuk tatanan masyarakat yang adil dan beradab.

Hari ini, bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multidimensi. Ketimpangan ekonomi makin melebar, ditandai dengan Koefisien Gini yang masih berada di angka 0,388 pada tahun 2023 menurut data Badan Pusat Statistik. Ketimpangan ini menggambarkan jurang besar antara si kaya dan si miskin, di mana 1% penduduk terkaya menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional (Credit Suisse, 2022), sementara 26 juta rakyat hidup dalam kemiskinan struktural. Mayoritas dari mereka adalah petani, buruh, nelayan, dan warga yang menggantungkan hidup pada sektor informal. Sistem ekonomi neoliberal yang menempatkan kapital sebagai pusat pengambilan keputusan telah melahirkan sebuah tatanan di mana uang dijadikan tuhan kecil. Nilai-nilai kemanusiaan dikorbankan demi akumulasi laba, dan kesejahteraan rakyat digantikan oleh ambisi pertumbuhan semu yang dinikmati segelintir elite.

Dalam bidang lingkungan hidup, situasinya bahkan lebih mengkhawatirkan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat lebih dari 8 juta hektare hutan di Indonesia rusak dalam satu dekade terakhir. Perusakan ini didorong oleh alih fungsi hutan menjadi perkebunan skala besar, pertambangan, dan megaproyek infrastruktur yang kerap dijalankan tanpa persetujuan masyarakat adat dan lokal. Negara justru cenderung memfasilitasi kepentingan korporasi dengan dalih pembangunan nasional. Padahal, dalam perspektif tauhid, bumi adalah amanah, bukan sekadar aset ekonomi. Setiap kerusakan atas ciptaan Tuhan adalah bentuk pengingkaran terhadap perintah menjaga keseimbangan dan keadilan ekologis.

Lebih jauh, penindasan terhadap rakyat adat dan petani semakin menjadi-jadi. Sepanjang 2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 248 konflik agraria yang melibatkan lebih dari 630.000 hektare lahan dan sekitar 400.000 keluarga. Dalam banyak kasus, rakyat kecil berhadapan dengan kekuatan korporasi dan negara yang justru menjadi perpanjangan tangan kepentingan modal. Alih-alih melindungi, aparat hukum dan regulasi kerap memihak pemodal. Rakyat yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya justru dikriminalisasi, ditangkap, bahkan dipenjarakan. Ini adalah cermin nyata dari apa yang dapat disebut sebagai syirik struktural—ketika kekuasaan tidak lagi menjadi penjaga keadilan, tetapi justru menjadi alat penindasan yang menyembah kepentingan modal.

Dalam situasi seperti inilah, ajaran tauhid harus dihidupkan kembali sebagai kekuatan pembebasan. Bagi Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII), tauhid bukan sekadar kalimat suci yang diucapkan, melainkan manifestasi pembebasan dari segala bentuk perbudakan sosial yang dilembagakan dalam sistem. Tauhid adalah penolakan mutlak terhadap dominasi kapital, penindasan oleh negara, dan eksploitasi oleh korporasi global. Ia adalah panggilan untuk menegakkan keadilan, merawat bumi, menyatukan kehidupan sosial dalam nilai-nilai ilahiah, serta berpihak pada kaum lemah yang dimarjinalkan oleh sistem. Tauhid adalah fondasi moral dan ideologis untuk membongkar kemapanan struktural yang korup dan timpang. Tidak semata-mata seruan etis, melainkan juga panggilan politik dan sosial menuju transformasi bangsa yang sejati—bangsa yang merdeka, adil, dan berdaulat.

Dalam situasi krisis seperti sekarang, seruan tauhid harus keluar dari ruang retorika dan menjadi aksi nyata. Tauhid harus hadir dalam perjuangan untuk reforma agraria sejati. Ia harus menjadi ruh dalam gerakan untuk menjaga kelestarian alam. Ia harus menjadi cahaya dalam menata kembali sistem ekonomi agar lebih adil dan menyejahterakan semua. Tauhid tidak boleh berhenti di mimbar-mimbar masjid, tapi harus hidup di jalanan, di sawah, di hutan, di ruang-ruang perlawanan rakyat, dan di seluruh ruang kebijakan.

LMII percaya bahwa tauhid adalah jalan menuju keadilan sosial dan kedaulatan rakyat. Maka, LMII berdiri di garda depan untuk memastikan seruan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi menjadi nyala api perjuangan yang menggema ke seluruh pelosok negeri. Sebab, hanya dengan menegakkan tauhid secara menyeluruh, bangsa ini akan terbebas dari belenggu penindasan yang terselubung dalam sistem dan struktur yang korup. Tauhid adalah fondasi bagi bangsa yang ingin merdeka, berdaulat, dan bermartabat di hadapan Tuhan maupun sejarah.

Islam Progresif Nusantara: Jalan Pembebasan Menuju Keadilan Sosial

Islam jalan hidup yang menuntut keadilan sosial, keberpihakan pada kaum mustadh’afin (yang tertindas), serta perlawanan terhadap segala bentuk kemungkaran struktural. Dalam konteks Nusantara dengan sejarah panjang kolonialisme, perampasan sumber daya, dan ketimpangan sosial yang akut maka lahirlah sebuah kebutuhan akan tafsir Islam yang tidak pasif, tetapi aktif dan membebaskan: inilah yang dimaksud dengan Islam Progresif Nusantara.

Islam Progresif Nusantara berakar dari nilai-nilai tauhid yang sejati, yaitu pengesaan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuasaan, hukum, dan keadilan. Dalam praksis sosialnya, tauhid menolak segala bentuk kemusyrikan struktural yakni ketika manusia menundukkan dirinya kepada kekuasaan uang, negara yang sewenang-wenang, atau kekuatan korporasi yang merampas hak-hak rakyat. Inilah realitas Indonesia hari ini: negara yang kaya sumber daya, tetapi mayoritas rakyatnya masih hidup dalam ketimpangan sosial yang sistemik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, Koefisien Gini Indonesia berada di angka 0,388, menunjukkan jurang ketimpangan yang masih tinggi. Lebih dari 30 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan, sementara kekayaan nasional semakin terkonsentrasi di tangan 1% elit ekonomi. Oligarki ekonomi dan politik kian dominan, di mana kekuasaan negara kerap menjadi pelayan korporasi, bukan rakyat.

Di sektor agraria dan lingkungan, situasi tak kalah genting. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa selama tahun 2023 terjadi 248 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas lebih dari 600.000 hektare. Konflik-konflik ini kebanyakan terjadi antara rakyat adat dan petani melawan perusahaan sawit, tambang, dan properti yang difasilitasi oleh negara. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga melaporkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 8 juta hektare hutan alam dalam satu dekade terakhir—kondisi yang berdampak langsung pada krisis iklim, bencana ekologis, dan hilangnya ruang hidup masyarakat adat.

Semua itu tidak hanya persoalan ekonomi atau kebijakan teknokratis, tetapi adalah masalah moral dan teologis. Ketika kekuasaan tunduk pada kapital, dan hukum berpihak pada pemodal, maka sesungguhnya umat ini sedang menghadapi kemusyrikan dalam bentuk baru. Inilah yang ditentang oleh Islam Progresif: ia memanggil umat Islam untuk bangkit, bersuara, dan mengambil sikap politik yang berpihak pada keadilan sosial.

Islam Progresif Nusantara berpijak pada sejarah panjang perlawanan umat Islam di Nusantara. Dari gerakan Syekh Yusuf al-Maqassari di Makassar, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa, hingga Haji Misbach di Surakarta yang mengusung semangat Islam kiri melawan kolonialisme dan kapitalisme. Semua tokoh ini memperlihatkan bahwa Islam sejati tidak pernah netral dalam menghadapi penindasan—ia selalu berada di pihak mereka yang dilemahkan oleh sistem.

Dalam konteks kekinian, Islam Progresif Nusantara harus menjadi ruang intelektual dan praksis sosial-politik bagi mahasiswa, santri, aktivis, dan masyarakat umum untuk menolak normalisasi ketimpangan dan perampasan hak-hak rakyat. Ia menolak narasi Islam yang hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan, atau Islam yang semata mengurusi akhirat tanpa menyentuh luka-luka sosial di dunia ini.

Sebaliknya, Islam Progresif Nusantara mengajak umat untuk kembali memaknai “amar ma’ruf nahi munkar” secara struktural—bukan hanya perbuatan personal, tetapi juga perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik. Menjadi muslim progresif berarti menolak diam ketika rakyat adat diusir dari tanahnya, ketika buruh diperas tenaganya tanpa perlindungan, ketika mahasiswa dibungkam karena menyuarakan kebenaran, dan ketika negara tunduk pada utang luar negeri serta investasi eksploitatif yang merusak bumi pertiwi.

Dalam Islam Progresif Nusantara, aksi sosial adalah bagian dari ibadah. Menjadi muslim berarti menjadi agen perubahan. Dan sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Maka menjadi Islam yang progresif adalah menjadi muslim yang melindungi, membela, dan membebaskan.

Inilah saatnya umat Islam di Indonesia membangun kembali kekuatan spiritual, intelektual, dan gerakan politik yang menjadikan tauhid sebagai dasar pembebasan, bukan sekadar dogma. Sebuah Islam yang berakar di bumi Nusantara, tapi bercita-cita menegakkan keadilan sosial semesta.

Tauhid Sebagai Kesadaran Kebangsaan dan Aksi Politik

Tauhid, dalam sejarah peradaban Islam, bukan hanya doktrin metafisik tentang keesaan Tuhan, melainkan juga prinsip pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah. Dalam konteks kebangsaan Indonesia hari ini, pemahaman terhadap tauhid perlu diperluas sebagai fondasi kesadaran kebangsaan yang membebaskan, menentang kolonialisme dalam bentuk baru, serta melawan struktur kekuasaan yang timpang dan menindas. Pemikiran ini senada dengan warisan pemikiran Bung Karno yang menjadikan tauhid sebagai inti dari revolusi nasional, bukan hanya dalam dimensi spiritual, tetapi sebagai energi pembebasan kolektif bagi rakyat tertindas.

Dalam pidatonya yang monumental, Bung Karno menegaskan bahwa “Islam adalah agama revolusioner.” Tauhid, bagi Bung Karno, bukan hanya pengakuan terhadap Tuhan Yang Esa, tetapi sekaligus penolakan terhadap segala bentuk penjajahan. Dengan semangat ini, Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII) hadir untuk melanjutkan garis perjuangan tersebut dengan menyandingkan spirit ketauhidan sebagai dasar dari kesadaran sosial dan politik. Tauhid yang tidak menggerakkan perlawanan terhadap kemiskinan struktural, oligarki kekuasaan, dan ketimpangan ekonomi hanyalah formalitas kosong.

Oleh karena itu, kesadaran tauhid tidak boleh berhenti pada ritus personal, tetapi harus menjelma menjadi kesadaran politik—kesadaran bahwa struktur sosial yang timpang dan eksploitatif adalah bentuk nyata dari kemusyrikan sosial: penghambaan manusia kepada sistem yang menindas manusia lainnya.

Jika dalam narasi keagamaan tradisional tauhid lebih sering dipahami secara spiritual yakni sebagai hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan melalui ibadah, zikir, dan kesalehan personal—maka LMII mendorong pemahaman yang lebih holistik. Tauhid dalam pengertian sosial-politik mencakup relasi horizontal, yakni bagaimana manusia memperlakukan sesamanya dan bagaimana sistem masyarakat dibangun. Kesalehan sosial tidak kalah penting dari kesalehan individual. Dalam hal ini, bertauhid berarti menolak diam di tengah kezaliman, menolak pasrah terhadap ketidakadilan, dan menolak netralitas dalam konflik struktural.

Dengan demikian, LMII menegaskan perbedaan antara tauhid spiritual yang terjebak pada formalisme agama dan tauhid sosial-politik yang membebaskan. Tauhid spiritual hanya menekankan dimensi ritual dan moral personal, sementara tauhid sosial-politik menjadikan keimanan sebagai energi perubahan. LMII menolak formalisasi agama yang menjauh dari realitas sosial. Tauhid bukan sekadar zikir, tapi juga aksi melawan ketidakadilan. Inilah yang menjadi dasar dari gerakan Islam progresif yang memperjuangkan keadilan struktural.

LMII mengajak seluruh elemen bangsa untuk merevitalisasi makna tauhid sebagai kekuatan revolusioner yang membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Dalam perspektif ini, menjadi bertauhid berarti menjadi anti-kolonial, anti-oligarki, dan berpihak pada rakyat tertindas. Demikian adalah bentuk aksi sosial-politik yang menuntut keadilan struktural. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Siapa yang tidak peduli dengan urusan umat, maka dia bukan bagian dari kami.”

Tauhid harus dimaknai sebagai komitmen total terhadap nilai-nilai keadilan, pembebasan, dan persaudaraan. Tauhid bukan hanya pernyataan teologis, tetapi adalah landasan ideologis perjuangan. Ia adalah basis kesadaran yang mengajak umat untuk tidak tunduk pada logika kekuasaan zalim dan sistem yang melanggengkan kemiskinan. Dalam semangat inilah, LMII mengusulkan tauhid sebagai jalan tengah antara spiritualitas dan perjuangan, antara iman dan aksi, antara langit dan bumi.

DAFTAR PUSTAKA

Soekarno. (1963). Di Bawah Bendera Revolusi (DBR), Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit DBR. (Gagasan Tauhid dan Revolusi Sosial dalam konteks perlawanan kolonial dan keadilan)

Ali Shariati. (1979). On the Sociology of Islam. Berkeley: Mizan Press.
(Dasar pemikiran Tauhid sebagai kekuatan sosial dan pembebasan struktural)

Ali Shariati. (1979). Tawhid: The Basis of Islamic Revolution.
(Tafsiran revolusioner atas konsep Tauhid dalam konteks perjuangan sosial)

Assyaukanie, Luthfi. (2009). Islam and the Secular State in Indonesia. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
(Pembacaan tentang relasi Islam, negara, dan formalisasi agama di Indonesia)

Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Laporan Indeks Gini dan Kemiskinan. Diakses dari: https://www.bps.go.id

Bank Dunia (World Bank). (2023). Indonesia Economic Prospects: Growth amid Uncertainty.
Diakses dari: https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/indonesia-economic-prospects

Esposito, John L. (1998). Islam and Politics. Syracuse University Press. (Kajian relasi Islam dengan politik dan tauhid sosial)

Fakih, Mansour. (2001). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: INSIST Press. (Kerangka kritis dalam memahami ketimpangan struktural dan globalisasi)

Hadis Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, No. 2875. (“Siapa yang tidak peduli dengan urusan umat, maka dia bukan bagian dari kami”)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2023). Statistik Kerusakan Hutan Indonesia 2013–2023.
Diakses dari: https://www.menlhk.go.id

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KPA). (2024). Catatan Akhir Tahun Konflik Agraria 2023.
Diakses dari: https://www.kpa.or.id

Marx, Karl. (1844). Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. (Untuk pembacaan materialisme historis dalam kajian struktural ketimpangan)

Nasr, Seyyed Hossein. (2003). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity.
(Pemaknaan spiritualitas Islam yang terhubung dengan nilai-nilai keadilan dan lingkungan)

Nasution, Harun. (1986). Islam Rasional. Bandung: Mizan.
(Pemikiran Tauhid yang kontekstual dan rasional dalam merespons masalah sosial)

Oxfam International. (2024). Inequality Inc: How Corporate Power Divides Our World and the Need for a New Era of Public Action.
Diakses dari: https://www.oxfam.org

Rahardjo, Dawam. (1995). Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata. Jakarta: Gema Insani Press.
(Pendekatan linguistik terhadap konsep Tauhid, keadilan, dan sosial dalam Al-Qur’an)

LMII Transparan