Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam Kerangka Pembebasan: Telaah Kritis Terhadap Fungsi Transformatif Islam

Abstrak

Tentang amar ma’ruf nahi munkar harusnya tidak sekadar dipahami sebagai konsep normatif dalam khazanah Islam klasik sebagaimana dipahami oleh sejumlah kelompok, melainkan sebuah instrumen etis dan praksis yang menuntut keterlibatan aktif umat dalam menghadirkan tatanan sosial yang adil. Dalam konteks sejarah, prinsip Amar ma’ruf nahi munkar menjadi pilar utama gerakan transformasi masyarakat oleh Nabi Muhammad SAW di Mekkah dan Madinah, dengan menghapus struktur perbudakan, ketimpangan ekonomi, dan tirani oligarki Quraisy.

Di masa Khulafaur Rasyidin, amar ma’ruf nahi munkar menjadi dasar keberanian rakyat dalam mengkritik kekuasaan, seperti dikisahkan seorang perempuan yang menegur Khalifah Umar bin Khattab soal mahar, atau ketika para ulama menolak kekuasaan dinasti yang menyimpang.

Pada era modern, reduksi makna amar ma’ruf nahi munkar nampak bergeser menjadi sekadar urusan moral personal telah menjauhkan Islam dari daya transformatifnya. Padahal, ketimpangan sosial-ekonomi saat ini, krisis ekologi global, korupsi politik, dan perusakan nilai-nilai kemanusiaan merupakan bentuk munkar struktural yang justru menuntut aksi kolektif umat. Menurut data World Inequality Report (2022), 10% penduduk terkaya menguasai 76% kekayaan dunia, sementara mayoritas umat Muslim berada dalam lingkaran kemiskinan. Di Indonesia sendiri. Indeks Gini tahun 2024 menunjukkan ketimpangan yang stagnan di angka 0,388, mencerminkan distribusi kekayaan yang timpang dan ketidakadilan sistemik.

Tulisan ini menggunakan pendekatan hermeneutika kritis, sebagaimana dikembangkan oleh Paul Ricoeur dan dilanjutkan oleh pemikir Muslim progresif seperti Fazlur Rahman untuk menafsirkan ulang ayat-ayat tentang amar ma’ruf nahi munkar secara kontekstual dan historis. Pendekatan tersebut dipadukan dengan teologi pembebasan ala Ali Shariati dan Hasan Hanafi, yang menempatkan Islam tidak sekadar urusan agama ibadah ritual, tetapi jauh daripada itu yakni sebagai kekuatan revolusioner yang menentang eksploitasi, kolonialisme, dan kapitalisme global.

Dengan pendekatan ini, argumentasi bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dilihat sebagai kewajiban individu terhadap perilaku menyimpang, melainkan tugas kolektif umat dalam membongkar struktur kekuasaan yang menindas, menolak ekonomi yang eksploitatif, dan memperjuangkan keadilan ekologis. Maka, amar ma’ruf nahi munkar adalah panggilan untuk membangun Islam transformatif Islam yang tidak diam terhadap penindasan, tetapi hadir sebagai agen pembebas bagi umat dan semesta.

Kata Kunci: Amar Ma’ruf, Nahi Munkar, Islam Transformatif, Pembebasan, Kritik Struktural, Teologi Pembebasan, Hermeneutika Kritis.

Pendahuluan

Dalam realitas dunia kontemporer yang diwarnai oleh ketimpangan sosial-ekonomi, krisis ekologi global, dan penindasan struktural yang terus memburuk, konsep amar ma’ruf nahi munkar sering kali mengalami penyempitan makna yang serius. Sejauh ini, konsep itu lebih banyak dipahami sebagai seruan etis individual, terbatas pada isu moralitas personal seperti pakaian, pergaulan, atau ibadah, namun abai terhadap kemungkaran yang bersifat sistemik seperti korupsi kekuasaan, eksploitasi buruh, perampasan tanah, dan kerusakan ekosistem yang dilakukan oleh korporasi besar.

Michel Foucault dalam tulisanya tentang Disiplin dan Kekuasaan menjelaskan bagaimana kekuasaan modern sering beroperasi melalui kontrol moral atas tubuh dan perilaku individu, alih-alih melawan struktur yang menindas. Relevan untuk menjelaskan penyempitan makna amar ma’ruf menjadi moralitas personal.

Ziauddin Sardar dalam Islamic Futures juga mengkritik bagaimana Islam modern sering direduksi menjadi ritual formalistik tanpa agenda transformasi sosial.

Survei LSI (2022) mencatat mayoritas dakwah keagamaan di Indonesia masih berfokus pada isu moral seperti pakaian dan pergaulan, dibandingkan masalah sosial-struktural seperti ketimpangan atau lingkungan. World Bank (2023) juga menjelaskan ketimpangan sosial-ekonomi global semakin melebar; 10% orang terkaya dunia menguasai hampir 76% kekayaan (juga dikutip oleh World Inequality Report).

Padahal dalam sejarahnya, khususnya pada masa kenabian Muhammad SAW, amar ma’ruf nahi munkar adalah instrumen revolusioner untuk membongkar dominasi sistem Jahiliyah yang menindas. Rasulullah memobilisasi prinsip ini untuk membebaskan kaum miskin dari eksploitasi Quraisy, memperjuangkan hak perempuan dan budak, serta menciptakan komunitas Madinah yang egaliter dan transformatif. Demikian pula pada era Khulafaur Rasyidin, amar ma’ruf nahi munkar dijalankan sebagai prinsip kontrol rakyat terhadap penguasa—seperti ketika rakyat bebas mengkritik Khalifah Umar bin Khattab di muka umum tanpa takut dikriminalisasi.

Ali Shariati dalam Religion versus Religion menjelaskan Islam awal adalah agama pemberontakan terhadap sistem tirani dan eksploitatif. Amar ma’ruf nahi munkar adalah motor revolusi sosial. Muhammad Iqbal tegaskan Islam adalah kekuatan etis-dinamis yang harus dibawa ke ranah sejarah, tidak sekadar pemujaan pasif.

Nabi Muhammad menghapus praktik riba, membebaskan budak, dan menandatangani Piagam Madinah dimana sebuah kontrak sosial antar komunitas multikultural berbasis keadilan. Kisah Khalifah Umar dalam Tarikh at-Tabari, disebutkan seorang perempuan menegur Umar terkait kebijakan mahar, dan Umar menerima koreksi tersebut di depan umum.

Di masa kini, realitas sosial justru menunjukkan bahwa kemungkaran telah bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih kompleks dan terstruktur: oligarki ekonomi-politik, kapitalisme predator, industrialisasi yang merusak lingkungan, hingga komersialisasi agama. Di Indonesia, KPK mencatat lebih dari 1.500 kepala daerah dan pejabat publik terjerat kasus korupsi selama dua dekade terakhir, sementara KLHK mencatat sekitar 3 juta hektare hutan rusak akibat pembiaran atas aktivitas tambang dan sawit ilegal.

David Harvey mengatakan dalam tulisannya berjudul Accumulation by Dispossession menjlaskan kapitalisme modern menghasilkan kemungkaran struktural lewat eksploitasi, privatisasi, dan perampasan sumber daya. Senada dengan Boaventura de Sousa Santos yang berpendapat masyarakat Global South (termasuk umat Islam) mengalami kemiskinan struktural akibat tatanan ekonomi global yang eksploitatif.

KLHK (2023) menemukan terdapat 3 juta hektare hutan Indonesia rusak; 75% akibat ekspansi sawit dan tambang ilegal. BPS (2024) dalam indeks Gini tetap stagnan di angka 0,388, mencerminkan ketimpangan ekonomi kronis di Indonesia.

Dalam situasi demikian, mereduksi amar ma’ruf nahi munkar menjadi sekadar kontrol moral privat adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat pembebasan Islam itu sendiri. Tulisan ini berupaya menghidupkan kembali amar ma’ruf nahi munkar sebagai prinsip gerakan sosial yang membebaskan, bukan hanya membetulkan perilaku individu, tetapi mendorong perubahan struktural demi keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan pemerdekaan umat dari segala bentuk penindasan.

Fazlur Rahman dalam Double Movement Theory menjelaskan tafsir Al-Qur’an harus menjembatani nilai etis masa lalu dengan realitas sosial kontemporer untuk membangun masyarakat adil. Jürgen Habermas dalam Rational Discourse Theory juga berpendapat ruang publik dan etika komunikatif dibutuhkan untuk melawan kemungkaran sistemik melalui partisipasi rasional masyarakat sipil.

Jumlah aksi sosial berbasis komunitas di Indonesia meningkat: menurut Katadata Insight Center (2023), tren aktivisme warga terkait isu sosial dan lingkungan terus bertumbuh, menunjukkan kehausan akan aksi kolektif berbasis nilai.

Dengan pendekatan hermeneutika kritis dan teologi pembebasan, artikel ini mengajak pembaca untuk melihat kembali posisi strategis amar ma’ruf nahi munkar dalam membangun Islam sebagai agama yang aktif melawan ketidakadilan. Islam tidak sekadar berurusan soal agama shalat dan puasa, melainkan pula agama aksi dan pembebasan. Amar ma’ruf nahi munkar adalah etika kolektif untuk menantang status quo dan menghadirkan peradaban yang adil dan beradab.

Paul Ricoeur menafsirkan teks agama secara kritis, membongkar ideologi yang menyimpang dari nilai keadilan. Hasan Hanafi dalam Leftist Islam juga menekankan pentingnya menafsirkan Islam untuk pembebasan dari tirani, tidak untuk pelanggengan kekuasaan. Asghar Ali Engineer dalam Islamic Liberation Theology juga menjelaskan Islam harus menjadi kekuatan emansipatoris, melawan dominasi kelas dan hegemoni politik.

Sebuah Studi Pew Research (2022) menemukan bahwa mayoritas umat Islam menginginkan Islam berperan dalam memperjuangkan keadilan sosial, tidak hanya urusan ritual.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Definisi dan Dimensi

Secara etimologis, istilah amar ma’ruf nahi munkar berasal dari bahasa Arab klasik yang memuat makna aktif dan kolektif. Kata amar (أمر) berarti memerintahkan atau mengajak secara aktif, menunjukkan inisiatif untuk menciptakan perubahan sosial. Sementara ma’ruf (معروف) berasal dari akar kata ‘urf yang berarti segala sesuatu yang dikenal atau diakui secara baik oleh masyarakat. Dalam kerangka fiqh dan ushuluddin, ma’ruf dikategorikan sebagai nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan solidaritas, yang selaras antara wahyu (nas) dan akal sehat (rasio), sebagaimana dijelaskan dalam Qawa’id Fiqhiyyah oleh Imam Al-Izz bin Abdus Salam.

Sebaliknya, nahi (نهي) berarti mencegah atau melarang, sedangkan munkar (منكر) adalah segala bentuk kezaliman dan keburukan yang ditolak oleh akal, agama, dan kemanusiaan. Ibn Taymiyyah dalam Al-Hisbah fi al-Islam menegaskan bahwa munkar mencakup penindasan politik, korupsi ekonomi, serta penyimpangan moral dan struktural yang merugikan masyarakat luas. Dalam konteks kontemporer, data dari Transparency International tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 180 negara dalam indeks persepsi korupsi, mencerminkan luasnya praktik munkar dalam tatanan negara.

Secara teologis, prinsip amar ma’ruf nahi munkar berakar kuat dalam Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat yang menjadikannya sebagai landasan normatif adalah, QS. Ali Imran: 104 “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” QS. Ali Imran: 110 “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”

Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa fungsi sosial umat Islam adalah bersifat transformatif dan kolektif. Sebuah Pendekatan yang dikembangkan dalam teori civilizational mission oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyatakan bahwa masyarakat Islam memiliki mandat spiritual untuk menegakkan nilai-nilai yang adil dan memerangi segala bentuk kezaliman struktural.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity yang menekankan bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus dimaknai bukan hanya dalam tataran moral-spiritual, tetapi juga sebagai upaya struktural untuk menciptakan tatanan sosial-politik yang adil. Di Indonesia, data dari BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa 9,36% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, memperlihatkan bahwa munkar tidak sekadar persoalan akhlak individu, melainkan juga ketimpangan sosial yang membutuhkan aksi kolektif untuk diubah.

Dengan demikian, amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya kewajiban personal, tetapi panggilan institusional umat untuk menghadirkan tatanan sosial-politik yang berpihak pada kemaslahatan umat, memperkuat etika publik, serta melawan sistem yang menindas dan merusak.

Reduksi Konseptual dalam Perkembangan Sejarah

Namun, dalam sejarah pasca-klasik Islam, konsep ini mengalami degradasi makna. Sejak runtuhnya institusi khilafah dan berkembangnya kerajaan-kerajaan otoriter di dunia Islam, fungsi amar ma’ruf nahi munkar berangsur direduksi menjadi aparat moralitas yang mengawasi perilaku privat umat. misalnya dalam urusan pakaian, ibadah, dan hubungan antarpribadi tetapi abai terhadap bentuk-bentuk munkar struktural seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan gender, atau perampasan hak-hak rakyat oleh elit penguasa.

Sebagaimana dicatat oleh pemikir Muslim seperti Ali Shariati, fungsi amar ma’ruf nahi munkar telah direduksi oleh rezim-rezim otoriter menjadi alat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam bukunya Religion vs Religion (1981), Shariati menyebut bahwa “agama Tuhan” sering kali dikalahkan oleh “agama penguasa,” di mana nilai-nilai etis Islam digantikan oleh ritual tanpa kesadaran sosial.

Dimensi Sosial dan Struktural: Perspektif Teori

Dalam konteks filsafat sosial dan teori pembebasan, amar ma’ruf nahi munkar dapat dianalisis dalam kerangka Hermeneutika Kritis (Paul Ricoeur, Fazlur Rahman) yang mengemukakan bahwa teks-teks agama perlu ditafsirkan tidak hanya berdasarkan makna literal, tetapi juga melalui konteks sosial dan historisnya. Amar ma’ruf nahi munkar secara tegas tidak terlepas dari upaya menciptakan masyarakat yang adil, partisipatif, dan bebas dari kekerasan struktural.

Teologi Pembebasan (Hasan Hanafi, Ali Shariati) juga menekankan agama sebagai kekuatan ideologis yang dapat digunakan baik untuk pembebasan maupun untuk pembenaran penindasan. Jika amar ma’ruf nahi munkar hanya diarahkan pada perilaku individual dan bukan pada struktur sosial-politik, maka agama telah kehilangan ruh perjuangannya.

Teori Kekuasaan (Michel Foucault) juga menggambarkan masyarakat modern, bahwasanya kuasa tidak saja bekerja melalui represi, tetapi juga melalui normalisasi dan kontrol. Ketika amar ma’ruf nahi munkar dijadikan alat pengawasan moral tanpa memperjuangkan keadilan struktural, maka ia telah diserap ke dalam “disiplin kekuasaan” yang justru mempertahankan status quo.

Fakta dan Data Empiris: Relevansi Kontemporer

Dalam dunia hari ini, munkar struktural hadir dalam bentuk-bentuk yang jauh lebih sistemik yakni Korupsi dan ketimpangan ekonomi dimana berdasarkan Laporan Transparency International (2023) menempatkan mayoritas negara-negara berpenduduk Muslim dalam kategori rawan korupsi.
Di Indonesia, menurut BPS (2024), 10% penduduk terkaya menguasai lebih dari 77% aset nasional, sementara jutaan rakyat berada dalam kemiskinan multidimensi.

Krisis ekologis menurut Global Forest Watch (2023), mencatat Indonesia telah kehilangan 203 ribu hektare hutan primer hanya dalam setahun, sebagian besar akibat ekspansi sawit dan tambang. Demikian tidak bisa sekadar masalah kerusakan lingkungan, tapi lebih tegasnya adalah munkar ekologis yang mengancam generasi masa depan.

Ketidakadilan sosial-politik juga semakin mengkhawatirkan.
Laporan Human Rights Watch dan Komnas HAM menyebutkan terdapat ratusan kasus kekerasan aparat terhadap petani, buruh, dan masyarakat adat yang menolak perampasan tanah. korban hukum berjatuhan juga harus dipahami sebagai korban dari abainya umat terhadap perintah nahi munkar terhadap penguasa zalim.

Dengan demikian, dimensi amar ma’ruf nahi munkar sejatinya menyentuh semua aspek kehidupan manusia: spiritual, sosial, politik, ekonomi, dan ekologis. Sebuah panggilan untuk membangun masyarakat ma’ruf, masyarakat adil, beradab, dan berkeadilan sosial, serta melawan segala bentuk munkar yang terstruktur dan terselubung dalam sistem kekuasaan dan ekonomi hari ini.

Maka, membangkitkan kembali makna transformatif dari amar ma’ruf nahi munkar adalah langkah strategis untuk menjadikan Islam tidak sekadar agama ibadah, tetapi juga sebagai agama aksi agama pembebasan.

Islam sebagai Agama Pembebasan

Dalam kerangka teologi pembebasan, Islam tidak hadir sebagai agama yang pasif, ritualistik, dan eksklusif, melainkan sebagai sistem nilai yang memerdekakan manusia dari seluruh bentuk penindasan dan dominasi baik spiritual, sosial, politik, ekonomi, maupun ekologis. Teologi pembebasan Islam mengakar kuat dalam praksis kenabian, yang tidak hanya membawa wahyu, tetapi juga memperjuangkan keadilan, merombak tatanan jahiliyah, dan membangun struktur sosial yang berlandaskan nilai-nilai tauhid, musyawarah, dan kesetaraan.

  1. Pembebasan Spiritual: Tauhid sebagai Emansipasi

Tauhid dalam Islam bukan sekadar afirmasi keimanan kepada satu Tuhan, tetapi juga merupakan proklamasi emansipatoris. Menurut Ali Shariati, tauhid berarti penolakan terhadap segala bentuk taghut yakni kekuatan apa pun selain Allah yang mengklaim kedaulatan atas hidup manusia: penguasa tiran, kapital, ideologi opresif, maupun sistem budaya yang menindas.

“La ilaha illa Allah” adalah deklarasi politik dan sosial. Ia membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia.” Ali Shariati, On the Sociology of Islam

Dengan tauhid, Islam membebaskan manusia dari determinasi takdir palsu dan ketundukan kepada kekuasaan yang menyesatkan.

  1. Pembebasan Sosial: Melawan Hierarki dan Diskriminasi

Nabi Muhammad SAW memulai misinya di tengah masyarakat Arab yang dibelit oleh sistem kasta tribal, di mana nasab dan kekayaan menentukan derajat seseorang. Dalam masyarakat seperti ini, budak, perempuan, dan anak-anak menjadi golongan termarjinalkan.

Namun Islam hadir membawa revolusi sosial. Dalam khutbah terakhirnya, Nabi menyatakan: “Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, kecuali karena takwa.”

Demikian adalah deklarasi anti-diskriminasi pertama dalam peradaban Arab. Islam meruntuhkan struktur sosial yang eksploitatif, dan mengangkat martabat kelompok terpinggirkan.

Di zaman modern, pesan ini relevan dalam melawan rasisme, sektarianisme, dan segregasi kelas yang masih mewarnai masyarakat muslim. Misalnya, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, masyarakat adat, atau pekerja informal adalah bentuk munkar sosial yang harus ditolak melalui prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

  1. Pembebasan Ekonomi: Melawan Eksploitasi dan Ketimpangan

Salah satu misi utama Islam adalah menegakkan keadilan distribusi ekonomi dan menolak penumpukan kekayaan di tangan segelintir elit. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan: “…agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Rasulullah menentang praktik riba, monopoli, dan eksploitasi buruh. Sistem zakat, infak, larangan penimbunan, dan distribusi hasil rampasan perang adalah instrumen untuk membangun keadilan distributif dan mencegah eksploitasi.

Hari ini, ketimpangan ekonomi di dunia Islam sangat mencolok. Berdasarkan World Inequality Report (2022), di banyak negara mayoritas Muslim, 10% elit menguasai lebih dari 70% kekayaan nasional, sementara jutaan umat hidup dalam kemiskinan. Demikian merupakan bentuk nyata dari kemungkaran ekonomi struktural yang harus dilawan sebagai bagian dari amanat agama.

  1. Pembebasan Politik: Melawan Kekuasaan Absolut

Islam sejak awal menolak kekuasaan otoriter. Konsep syura (musyawarah), amanah, dan hisbah (kontrol publik terhadap penguasa) menjadi pilar utama dalam sistem politik Islam awal. Dalam sejarah Khulafaur Rasyidin, rakyat bebas mengkritik penguasa, dan penguasa wajib menjawab secara terbuka.

Namun, dalam sejarah kekhalifahan dinasti hingga negara-negara modern, banyak pemerintahan Muslim justru melanggengkan otoritarianisme, represi, dan pembungkaman kritik atas nama agama atau stabilitas. Ini jelas bertentangan dengan misi politik Islam yang sejati: membebaskan rakyat dari penindasan.

Menurut laporan Freedom House (2024), lebih dari 70% negara mayoritas Muslim masuk kategori “not free” atau “partly free”, menunjukkan lemahnya demokrasi dan tingginya represivitas.

  1. Pembebasan Ekologis: Menolak Perusakan Alam dan Eksploitasi Sumber Daya

Alam dalam Islam mempertegas banyak hal sebagai bagian penting tak terpisahkan dalam peradaban manusia. Alam dimaksudkan tidak sekadar urusan sumber daya, tetapi juga tentang amanah (trusteeship) dari Allah. Manusia diberi mandat sebagai khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30) untuk menjaga dan melestarikan bumi, dan menolak segala bentuk eksploitasi secara destruktif.

Namun krisis ekologis sekarang telah memperlihatkan lajunya deforestasi, pencemaran sungai, krisis air bersih, dan kepunahan spesies; sebuah fenomena hasil dari sistem ekonomi serakah dan pemerintahan yang membiarkan perusakan demi investasi. Di Indonesia, data WALHI (2024) mencatat lebih dari 2 juta hektare lahan rusak akibat tambang batubara dan perkebunan sawit ilegal, sebagian besar di kawasan hutan adat.

Demikian adalah bentuk munkar ekologis yang tak kalah kejam dari kezaliman sosial, dan wajib dicegah oleh umat sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Roh dari Islam Pembebas

Dari seluruh dimensi di atas, terlihat bahwa amar ma’ruf nahi munkar menolak pandangan dangkal yang membutakan haluan; melaknat seruan sempit untuk menegur perilaku individual. amar ma’ruf nahi munkar harus diyakini sebagai roh dari seluruh misi pembebasan Islam. amar ma’ruf nahi munkar adalah jantung dari Islam sebagai agama aksi, tidak sekadar kumpulan doktrin yang menolak berpikir sehat. Ketika prinsip ini dijalankan dengan kesadaran struktural dan keberpihakan kepada kaum mustadh’afin (yang tertindas), maka Islam akan tampil sebagai kekuatan transformatif bagi dunia.

Sebaliknya, ketika prinsip ini dipasung dan disempitkan, maka Islam kehilangan ruhnya, dan agama menjadi alat legitimasi status quo.

Islam sebagai Agama Pembebasan

Dalam kerangka teologi pembebasan, Islam hadir untuk memerdekakan manusia dari berbagai bentuk penindasan seperti Pembebasan spiritual, dari penyembahan kepada selain Allah; Pembebasan sosial, dari sistem kasta, diskriminasi, dan eksploitasi; Pembebasan ekonomi, dari riba, ketimpangan, dan ketidakadilan distribusi kekayaan; Pembebasan politik, dari kekuasaan absolut yang anti-rakyat; Pembebasan ekologis, dari keserakahan yang merusak alam dan mengancam keberlanjutan hidup.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah roh dari semua bentuk pembebasan itu.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Perlawanan terhadap Kemungkaran Struktural

Kemungkaran dalam konteks modern tidak hanya berupa maksiat personal seperti zina atau mabuk. Kemungkaran struktural jauh lebih masif dan berbahaya, seperti Korupsi yang sistemik dan merampas hak rakyat; Kapitalisme yang mengeksploitasi manusia dan alam; Rezim otoriter yang menindas kebebasan berpendapat; Perusakan lingkungan oleh korporasi rakus; Ketidakadilan gender dan marginalisasi kelompok rentan.

Melakukan nahi munkar dalam konteks ini berarti membongkar akar dari sistem yang melahirkan keburukan tersebut. Maka, amar ma’ruf nahi munkar dapat dipahami sebagai aksi sosial, advokasi hukum, gerakan massa, hingga penulisan dan produksi narasi yang membebaskan.

Revitalisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Gerakan Sosial

Dalam perkembangan akhirnya kita didorong Untuk mengembalikan fungsi transformatif amar ma’ruf nahi munkar, umat Islam perlu merekonstruksi pendekatan dakwah Kritis terhadap sistem yang tidak hanya menyalahkan individu, tetapi menganalisis struktur yang menciptakan kemungkaran.

Selanjutnya perlunya Kolaboratif, Bekerjasama dengan gerakan rakyat, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas adat. Kontekstual, mampu membaca realitas lokal dan merespons secara tepat. Juga diharapkan berbasis ilmu dengan menggabungkan pendekatan keagamaan dengan ilmu sosial, ekonomi, hukum, dan ekologi.

Terakhir, stelah kesadaran kolektif, perlu keberanian dan konsistensi yang mempertegas bahwa tidak kompromi terhadap kekuasaan zalim dan tetap berpihak kepada korban ketidakadilan.

Penutup

Amar ma’ruf nahi munkar adalah panggilan untuk bertindak. menjadi motor penggerak perubahan. Dalam dunia yang penuh kerusakan dan ketimpangan, tugas umat, tidak sekadar menyeru pada kebaikan dalam tataran mikro, tetapi juga mendobrak kemungkaran dalam skala makro. Ketika prinsip amar ma’ruf nahi munkar dipahami secara struktural dan praksis, maka semangatnya akan menjadi senjata paling tajam dalam upaya pembebasan umat dan kemanusiaan.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Asghar Ali Engineer. (1999). Islam and Liberation Theology.
  3. Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity.
  4. M. Quraish Shihab. (2007). Tafsir Al-Mishbah.
  5. Paulo Freire. (1970). Pedagogy of the Oppressed.
  6. Ali Shariati. (1981). Religion versus Religion.
  7. Syahrul Hidayat. (2020). “Islam Transformatif dan Aksi Sosial.” Jurnal Pemikiran Islam Progresif, Vol. 2 No. 1.
LMII Transparan