Pernyataan Sikap Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII)
Jakarta, 03 Agustus 2025
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salam Perjuangan!
Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, bendera Merah Putih mulai berkibar di berbagai penjuru negeri sebagai bentuk semangat kemerdekaan Indonesia. Semua diharapkan berjalan seperti biasa oleh pemerintah. Akan tetapi, kali ini ada aroma lain yang nampaknya dinilai mengganggu pemandangan pemerintah, yaitu pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece yang dikenal sebagai Jolly Roger, di berbagai pelosok tanah air.
Pengibaran bendera bajak laut di rumah-rumah warga, kendaraan, bahkan berdampingan dengan Sang Saka Merah Putih itu, saat ini viral dimana mana. Dan sebagai pemuda mahasiswa kami ingin menegaskan bahwa sikap demikian perlu dijadikan sebagai masukan berharga yang memuat materi permenungan makna dan motivasi bagi pemerintahan yang tidak ingin melihat penderitaan rakyatnya semakin dalam.
Fenomena itu menunjukkan betapa luas dan dalamnya ketidakpuasan yang mengendap di tengah masyarakat. Di tengah gempuran simbol formal negara yang kehilangan makna karena kontradiksi dengan realitas sosial, rakyat wajar diam dan mulai mencari simbol alternatif yang dapat mewakili kegelisahan kolektif. Jolly Roger, sebagai bendera bajak laut dari dunia fiksi, justru menjadi simbol yang lebih jujur mencerminkan nasib rakyat yang hidup di pinggiran, ditindas oleh sistem, dan bertahan di tengah ketidakadilan struktural. Demikian yang harus dipahami oleh penguasa lewat kejujuran dan hati nurani bahwa hal itu tidak lebih sebagai ekspresi protes yang simbolik, cerdas, dan damai. Bagi PB LMII, demikian adalah ekspresi dan kampanye ketidakpuasan publik atas kinerja pemerintahan yang gagal di banyak bidang selama ini. Lantas, apa makna dari semua itu?
Sebagian elite kekuasaan merespons dengan cemas dan penuh gairah bahwa ekspresi tersebut sebagai ancaman bagi negara. Meminjam pendapat Wakil Ketua DPR RI menjelaskan kampanye itu sebagai “ancaman terhadap persatuan nasional” dan menyatakan adanya dugaan gerakan sistematis untuk memecah-belah persatuan bangsa.
Respons elite itu memperlihatkan bagaimana ketakutan kekuasaan sering kali tidak mampu membedakan antara kritik sosial dan subversi politik. Ketimbang merenungkan kenapa simbol semacam itu populer, elit di lingkup legislator justru memilih jalur represif, memperkuat jarak antara rakyat dan negara. Ungkapan “ancaman terhadap persatuan” terkesan prematur, jika tidak ingin dikatakan paranoid. Dalam konteks negara demokrasi, simbol-simbol perlawanan seharusnya dibaca sebagai alarm peringatan yang menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah, jangan langsung membuat perspektif pendek, distempel sebagai ancaman keamanan nasional tanpa melihat kenyataan yang ada.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polkam) pun ikut-ikutan ambil sikap keras dengan memperingatkan bahwa mengibarkan bendera One Piece menggantikan atau mengabaikan Merah Putih bisa masuk kategori pelanggaran dan dikenai sanksi pidana karena mencederai kehormatan lambang negara sesuai UU No. 24/2009.
Pendekatan hukum seperti itu, menurut kami, justru mempertegas kegagapan negara dalam menyikapi ekspresi publik yang bersifat simbolik dan damai. Ketimbang membuka ruang dialog, negara justru menanggapi keresahan rakyat dengan pasal pidana. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, tak ada satu pun fakta yang menunjukkan bendera Jolly Roger dimaksudkan untuk menggantikan peran simbol negara, melainkan berdiri sebagai kritik sosial atas kehampaan simbol-simbol negara itu sendiri. UU No. 24/2009 seharusnya tidak digunakan untuk membungkam ekspresi, tetapi untuk memastikan bahwa simbol negara dihormati melalui kinerja dan moralitas pejabat negara yang sesuai dan terpenting menjadi teladan bagi anak muda yang hendak melanjutkan tongkat perjuangan negara dalam bidang apa pun.
Tapi, kebiasaan menyalahkan pendapat publik di tengah minimnya koreksi kinerja pemerintah dan minimnya penguasa dalam mencerna pesan berharga yang datang dari publik atas pengibaran bendera bajak laut itu, dibantah oleh Wamen Dalam Negeri yang menyatakan bahwa tren tersebut tidak dilarang asalkan tidak bertentangan dengan konstitusi. Ia menekankan bahwa bendera nasional tetap diutamakan dan tren ini dilihat sebagai bentuk ekspresi yang sah dalam demokrasi.
Pernyataan Wamen Dalam Negeri itu, menurut kami, patut diapresiasi karena menunjukkan sikap yang lebih bijak dan demokratis dalam membaca dinamika sosial. Kami melihat hal itu dapat memberikan napas bagi ruang ekspresi warga negara tanpa langsung mengkriminalisasi simbol-simbol alternatif. Dalam konteks demokrasi yang sehat, ekspresi semacam ini merupakan bagian dari kritik sosial yang sah dan perlu didengar, tidak untuk dibungkam. Justru dari ekspresi seperti inilah pemerintah dapat bercermin, bahwa ada pesan besar yang hendak disampaikan rakyat bahwasanya negara mesti hadir melampaui imajinasi sebagaimana Pancasila dan konkret dalam praktik-praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, bukan sekadar lewat seremoni dan simbol formal yang mengabaikan nilai-nilai Pancasila.
Justru, pengibaran bendera bajak laut ini harus dibaca sebagai simbol perlawanan kultural rakyat terhadap negara yang telah kehilangan kompas. Di tengah gelombang krisis ekonomi, ekologi, ketidakadilan hukum, dan penumpukan kekuasaan, rakyat terutama dari kalangan anak muda tak lagi menemukan harapan pada simbol-simbol formal negara yang harusnya dicontohkan oleh penguasa. Rakyat memilih Jolly Roger, bendera bajak laut, bukan karena ingin merusak, tetapi karena negara sendiri tak hadir dalam kehidupan rakyat yang tertindas atas ketidakadilan dan ketimpangan yang semakin menganga.
Demikian merupakan ekspresi putus asa sekaligus perlawanan yang membentuk estetika baru dalam protes sosial. Di saat negara gagal menyediakan keadilan ekologis, ekonomi yang adil, dan kepastian hukum yang setara, rakyat beralih ke simbol yang mewakili perasaan tertindas namun tetap tangguh. Seperti kru bajak laut dalam anime One Piece yang melawan ketidakadilan sistem dunia, rakyat Indonesia hari ini sedang mengibarkan bendera yang menyuarakan bahwa mereka tidak percaya lagi pada institusi yang berulang kali mengecewakan. Di sinilah makna terdalam dari pengibaran Jolly Roger, tentu bukan anarki, tetapi kritik terhadap sistem yang mengkhianati konstitusi dan janji kemerdekaan.
Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan ekstrem masih menyentuh 5,24 juta jiwa (BPS, Maret 2024), sebuah angka yang mencerminkan kegagalan struktural dalam pemerataan pembangunan. Tidak hanya itu, sebanyak 9,9 juta anak muda usia produktif terjebak dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training), menurut laporan Bappenas dan ILO tahun 2024. Demikian potret gelap generasi yang kehilangan arah akibat minimnya akses terhadap pendidikan berkualitas, lapangan kerja bermartabat, dan pelatihan yang relevan.
Ketimpangan ekonomi terus melebar, terlihat dari rasio Gini Indonesia yang mencapai 0,391 pada awal 2024 (BPS), angka yang nyaris menyentuh garis waspada. Hal itu berarti bahwa kekayaan nasional makin terkonsentrasi di tangan segelintir elite, sementara mayoritas rakyat terperosok dalam jurang kemiskinan, utang konsumtif, dan akses terbatas terhadap layanan dasar.
Di sisi lain, dalam sektor hukum dan lingkungan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya berada di angka 34 dari 100 menurut Transparency International (2023), stagnan dan menunjukkan kemunduran moral di lingkar kekuasaan. Kasus megakorupsi tata niaga timah yang menyeret triliunan rupiah kerugian negara, pembiaran terhadap perusakan hutan di Papua dan Maluku Utara oleh korporasi yang terafiliasi dengan elite politik, serta tumpulnya penegakan hukum terhadap para pejabat publik, menjadi bukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Pengibaran bendera Jolly Roger adalah bentuk ekspresi dari masyarakat yang frustrasi terhadap negara yang tak lagi hadir membela keadilan. Sebagai anak muda, LMII memandang ada jeritan dan tangisan politik dari generasi yang kehilangan harapan terhadap demokrasi prosedural yang penuh manipulasi oligarki. Jolly Roger adalah opsi yang tepat yang mencerminkan keresahan kolektif atas institusi yang semakin korup, eksploitatif, dan kehilangan legitimasi moral.
Pemerintah seharusnya bertanya, mengapa rakyat lebih memilih simbol bajak laut sebagai representasi keadilan dan solidaritas? Mungkin karena dalam fiksi, bajak laut masih menunjukkan nilai kesetaraan, kebersamaan, dan perlawanan terhadap penindasan. Ironisnya, negara yang nyata justru kehilangan semua itu.
Secara keseluruhan, Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII) menegaskan bahwa ekspresi kekecewaan rakyat sebagaimana di atas adalah buah dari akumulasi kegagalan negara dalam memenuhi amanat konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia…. Dan realitas saat ini justru menunjukkan pembalikan total dari amanat luhur tersebut. Karena itu, kami menyerukan dengan tegas:
- Stop kriminalisasi simbol dan ekspresi rakyat!
- Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pemerintahan di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan hukum!
- Kembalikan demokrasi sebagai ruang terbuka, bukan ruang penuh sensor!
- Wujudkan negara yang berpihak pada rakyat, bukan oligarki!
Kalau negara terus gagal mendengar suara rakyat, maka jangan salahkan rakyat jika mencari simbol baru untuk menggantungkan harapan, menggantung spirit perlawanan sejati terhadap ketidakadilan struktural dan penjajahan gaya baru. Sebab kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan penguasa ataupun korporasi zalim.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia
TTD
Ketua Umum PB LMII