Badi Farman, Ketua Bidang Politik dan Kepemudaan Strategis PB LMII
JAKARTA-Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan Abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto belum luput dari pandangan mata.
Disetujui DPR dan diklaim sebagai langkah mempererat persatuan menjelang hari Kemerdekaan RI. Kebijakan ini justru memantik pertanyaan besar publik. Apakah persatuan bisa dibangun di atas kompromi hukum?.
Di permukaan, kebijakan ini tampak sebagai simbol rekonsiliasi politik. Namun di baliknya terkuak kekhawatiran bahwa keputusan ini bisa menjadi preseden buruk, dimana hukum bukan lagi menjadi panglima, melainkan alat negosiasi kekuasaan.
Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII) melalui Ketua Bidang Politik dan Kepemudaan Strategis, Badi Farman menegaskan bahwa, penggunaan hak prerogatif presiden seharusnya memiliki dasar hukum yang kuat, transparan, dan terbebas dari kepentingan politik jangka pendek.
“Secara hukum memang sah, tapi dari sisi moral politik dan penegakan hukum ini berbahaya. Jika hukum bisa dinegosiasikan demi kepentingan elit bagaimana generasi muda bisa percaya pada sistem” tegas Badi, 10/08/2025
Menurutnya, generasi muda adalah kelompok yang sedang membangun idealisme, maka mereka membutuhkan teladan bahwa hukum tidak tunduk pada kekuasaan. Jika hari ini yang kita liat justru kompromi elit maka akan muncul sikap apatis dan sinis dan partisipasi politik bisa merosot, dan itu berbahaya bagi masa depan demokrasi,” tambahnya.
Keputusan ini bukan hanya berdampak pada dua tokoh yang terlibat. Pesan yang diterima masyarakat umum, khususnya pemuda adalah bahwa pelanggaran hukum tertentu bisa dihapuskan jika memiliki nilai tawar politik.
“Menurut saya ini adalah sinyal yang sangat kuat. Kalau masyarakat melihat ada standar ganda dalam penegakan hukum, maka kredibilitas institusi negara akan runtuh. Ketika hukum tidak dipercaya lagi maka masyarakat bisa memilih jalan sendiri untuk mencari keadilan”. Ungkapnya.
Badi berpendapat bahwa, hal ini dikhawatirkan bisa memicu meningkatnya ketidakpercayaan terhadap aparat, rendahnya partisipasi politik dan bahkan potensi radikalisasi sikap di kalangan anak muda yang kecewa.
PB LMII mendorong pemerintah menetapkan batasan yang tegas dalam penggunaan hak prerogatif, termasuk pemberian abolisi dan amnesti. Setiap keputusan harus disertai publikasi yang rinci mengenai dasar hukum, pertimbangan kemanusiaan, serta manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
“Kalau memang demi persatuan, harus dijelaskan indikatornya. Bagaimana keputusan ini menguntungkan rakyat, bukan hanya elit politik. Kalau tidak jelas masyarakat akan menganggap ini hanya barter kekuasaan,” ujar Badi.
Selain itu, Badi Farman menilai bahwa perlu adanya forum dialog publik yang melibatkan mahasiswa, aktivis, akademisi, dan komunitas sipil untuk membahas kebijakan serupa. Tujuannya agar publik terlibat dalam pengawasan, sehingga keputusan yang diambil tidak sekadar menjadi urusan lingkaran elit.
“Menurut saya, saat DPR memutuskan abolisi dan amnesti yang diajukan oleh presiden, seharusnya ada pelibatan elemen masyarakat terutama mahasiswa, aktivis, dan akademisi agar ada keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan,” pungkasnya.
Keputusan ini akan menjadi tolok ukur arah pemerintahan lima tahun ke depan. Apakah Presiden Prabowo akan konsisten membangun negara hukum yang setara untuk semua, atau justru membuka ruang bagi kompromi politik yang merusak sendi demokrasi.
“Bagi anak muda, inilah momen untuk menguji integritas pemerintah. Kalau kita diam maka jangan salahkan jika praktik seperti ini menjadi tradisi politik,” Tutupnya