Pasar bebas dan praktek monopoli sudah lama menjadi perhatian besar di Indonesia. Kita lewat demokrasi Pancasila yang mempertahan nilai keragaman budaya dan agama sebagai spirit pemersatu justru lumpuh dari dalam. Mental rakyat dan pelayannya di pemerintahan terganggu oleh karena gempuran demokrasi liberal ala negara-negara dunia bagian barat yang terlalu hebat menggaungkan spirit dan budaya individualistik dalam berbagai cara dan siasat, oligarki-pun ikut berselancar di skema pasar bebas dengan kekuatan modal yang didapat dari keringat rakyat dan ruang hidup; memperkuat dominasi dan kontrol atas investasi sampai penjualan atas sumber daya rakyat.
Di Indonesia, perlawanan terhadap dominasi pasar bebas dan monopoli semakin menantang oleh karena sistem kekebalan tubuh manusia nusantara yang semakin rapuh atas serangan virus budaya, politik, dan ekonomi kapitalistik bahkan kesehatan di berbagai lapisan masyarakat hingga lebih tumbuh subur di lingkungan pemerintahan. Dimana atas kekalahan besar itu, dengan sendirinya mengabaikan kemampuan budaya luhur yang terbukti berhasil mengawal peradaban Nusantara di masa kerajaan dan kesultanan berjaya. Sebuah masa dimana kapitalisme dan nenek moyangnya belum mengembangkan kemampuan adaptasi parlentenya sebagai orang-orang yang suka menjual orang lain, suka bersembunyi, dan mencari muka di atas kekuatan suatu negara.
Alhasil, korupsi atas kekayaan publik menjadi opsi cepat untuk mengisi kantong-kantong pribadi dan kelompok para pejabat negara, praktek saling merendahkan menguat, suap-suapan antar sesama anak bangsa jadi budaya yang hampir mayoritas, penegakkan hukum tersusupi hingga lemah sampai pada titik memprihatinkan, mahasiswa dan pemuda dipecah belah agar tidak fokus mengkritisi kebijakan publik yang cenderung dikendalikan oligarki dan kapitalis. Bahkan praktek kriminalisasi menjadi senjata untuk melawan spirit kekeluargaan utamanya di masyarakat adat.
Sampai pada titik ini, seharusnya kita sudah punya cukup banyak catatan sejarah untuk melihat dan merenungkan skema pasar bebas dan monopoli yang menindas ekonomi rakyat dari dalam lewat mekanisme penyamaran dan pecah belah. Tak hanya itu, kita juga cukup mengerti bagaimana pemuja pasar bebas menenggelamkan budaya, merusak solidaritas, menanamkan individualisme, dan menguasai arus informasi.
Laporan Oxfam 2024 menunjukkan bahwa lima orang terkaya dunia memiliki kekayaan yang berlipat ganda sejak 2020, sementara lima miliar orang lainnya semakin miskin. Di Indonesia, BPS mencatat pada Maret 2022 lalu, terdapat kelompok 40% terbawah hanya menguasai sekitar 18% dari total pengeluaran nasional. Tekanan pasar bebas juga membuat produsen kecil, petani, dan nelayan kehilangan margin keuntungan, sementara perusahaan besar menumpuk kekayaan. Karl Polanyi dalam The Great Transformation mengatakan pasar bebas yang tak terkendali mengeliminasi manusia dari konteks sosial, ekonomi, dan budaya suatu negara.
Monopoli budaya dan pasar juga menggerus solidaritas lokal. Praktik tradisional seperti pasar ikan di Maluku Utara tergeser oleh distribusi modern. Pierre Bourdieu dalam Distinction menjelaskan bahwa kapitalisme membentuk selera, norma, dan budaya, sehingga solidaritas komunitas lama terkikis. Dominasi platform digital global seperti Google, Meta, dan TikTok menambah tekanan dengan algoritma yang menekankan konten personal dan viral, mengurangi ruang bagi konten berbasis komunitas dan budaya lokal. Adorno dan Horkheimer pernah mengingatkan kita bahwasanya budaya industri adalah alat hegemonik yang mengebiri kesadaran kritis masyarakat secara perlahan. Tanpa kesadaran kolektif, lambat laun kita akan masuk pada jebakan individu-individu sakit yang mengandalkan kekuatan modal, akses teknologi, dan pasar.
Di tengah dominasi ini, Koperasi Merah Putih, BUMD, dan BUMN yang diperkuat menjadi alat perlawanan rakyat sebagai jalan satu-satunya untuk membalikkan keadaan. Sebuah ikhtiar yang harusnya mendapat dukungan seluruh lapisan masyarakat sebagai opsi kolektif untuk mengeluarkan bangsa ini dari gurita pasar bebas, kapitalisme, dan individualisme yang gagal di banyak bidang. Menurut saya, kapitalisme sekarang ini pandai mengambil momen atas klaim ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari ideologi dan sistem ajaran mereka, lalu mengatakan semua ideologi di berbagai belahan dunia tak bisa keluar dari gurita kapitalisme dan individualisme ala mereka? Sungguh merupakan omong kosong yang gagal membedakan mana ideologi, mana ilmu pengetahuan dan teknologi, mana ajaran, mana metode. Kapitalisme takut dengan kemampuan adaptasi kolektif, dan negara-negara seperti China dan Rusia sukses membungkam klaim itu.
Terkait UKM, Kemenkop UKM 2023 pernah mencatat lebih dari 23 juta anggota koperasi di Indonesia, mampu meningkatkan pendapatan anggota hingga 20–30% melalui praktik ekonomi kolektif. Konsep Elinor Ostrom dalam Governing the Commons juga menunjukkan bahwa masyarakat bisa mengelola sumber daya secara bersama tanpa bergantung pada pasar bebas, selama ada aturan bersama dan pengawasan sosial yang ketat.
Jika pasar bebas dan monopoli membunuh budaya kita, itu artinya korbannya adalah rakyat dan rakyat memiliki hak untuk membalas pemuja kapitalisme dangkal itu dengan ilmu yang sama sebagai senjata, bukan dengan budayanya, bukan pula dengan kekerasan fisik, tetapi melalui solidaritas kolektif yang lebih kuat dari individualisme, disiplin budaya, dan hukum adat dan negara sebagai pengawasan sosial yang kuat.
Studi tentang hukum adat Larwul Ngabal di Maluku membuktikan bahwa nilai-nilai adat mampu mengatur hak atas sumber daya, menjaga ekosistem, dan memperkuat solidaritas sosial, bahkan di tengah tekanan ekonomi modern. Antonio Gramsci pernah menekankan pentingnya counter-hegemony, membangun kekuatan sosial-kultural alternatif untuk menantang dominasi ideologi hegemonik kapitalisme. Dengan demikian, perlawanan rakyat tidak hanya berpusat pada aspek ekonomi, tapi juga politik, budaya, dan digital, dengan menegaskan bahwa solidaritas dan budaya kolektif adalah senjata yang paling ampuh melawan monopoli dan pasar bebas.
Pasar bebas dan monopoli membunuh budaya kita, merusak solidaritas, menanamkan individualisme, dan menguasai arus informasi. Koperasi Merah Putih, BUMD, dan BUMN yang diperkuat menjadi alat perlawanan rakyat, harusnya mampu menjadi bagian dari instrumen untuk merebut kendali ekonomi, politik, budaya, dan narasi digital.
Sekali lagi jika kapitalistik membunuh budaya kita dengan caranya, kita patut membalas dengan cara yang sama, bukan berarti kita menjadi mereka, tapi mereka harus menjadi kita. Adaptasi penting, tapi bukan berarti menjual budaya dan agama di Nusantara hanya karena kepentingan segelintir orang dan kelompok. Agama dan budaya itu adalah aset tak bisa dibeli dengan uang kertas kapitalisme dan oligarki, tapi jika pemuja kapitalisme yang berkedok agama mencoba melakukannya, menggunakan kepandaian dalam menjual semua objek yang bernilai ke pasar bebas, mereka sama halnya dengan hewan belut kapitalisme yang gagal memahami history perjuangan masyarakat Nusantara yang lahir dari kesadaran rakyat dan gagal pula memahami perkembangan global secara esensial. Belut harus ditempatkan di tempatnya, jangan berjoget di banyak orang untuk alihkan perhatian dan merampok dari belakang. Kalau tidak begitu, budaya dan agama yang kita punya dengan kebesaran dan kebanggaan atas nilai-nilai kemanusiaan akan terus terjebak dalam khayalan individualisme, terjebak dalam kebahagiaan sesat dan menyesatkan yang menjual semuanya dengan amat murah.
Kita perlu memperkuat semangat solidaritas kolektif yang lebih besar dari individu, disiplin budaya, dan hukum adat dan negara yang kuat sebagai pengawasan sosial. Selanjutnya, kita secara kolektif bisa lebih gila dari apa yang dibayangkan. Catatannya ialah perlunya Kolektivitas Mengalahkan Individualisme, Konsumsi dan Gaya Hidup Secukupnya, Media Sosial dan Platform Digital Kolektif, Hukum Adat dan Agama yang Relevan sebagai Bagian dari Mekanisme Pengawasan, Menguatkan Koperasi, BUMD, dan BUMN.
Jadi, kesadaran kolektif begitu mahal dan patut menjadi syarat mutlak untuk menghentikan dominasi sesat pasar bebas yang menjual individu dengan mengontrol ilusi kebahagiaan pada takaran paling rendah dalam ukuran dan batasan imajinasi tak ber-Tuhan Yang Maha Esa. Tapi memang melakukannya tidaklah mudah membalikkan telapak tangan. Meskipun semangat masyarakat komunal masih ada, tanpa dorongan dari negara, dan kesadaran kolektif semua ini hanya omong dan kosong.
Fakta berbicara, “Penegasan”
Kita patut menyadari bahwasanya produksi, distribusi, promosi, dan pengelolaan ekonomi rakyat harus berlandaskan kekuatan kolektif, bukan ego individu atau dominasi modal. Praktik kolektif sejatinya terbukti mampu meningkatkan efisiensi, memperluas jangkauan, dan menjaga keberlanjutan sumber daya. Data Kemenkop UKM 2023 mencatat lebih dari 23 juta anggota koperasi di Indonesia, dengan pendapatan anggota meningkat hingga 20–30% melalui mekanisme ekonomi kolektif. Ini sejalan dengan teori Elinor Ostrom dalam Governing the Commons, yang menunjukkan bahwa masyarakat bisa mengelola sumber daya bersama secara efektif selama ada aturan kolektif dan pengawasan sosial.
Hidup sederhana, konsumsi secukupnya, dan menghindari gaya hidup boros adalah bentuk disiplin sosial, ekonomi, dan budaya yang menentang dominasi kapitalisme ekstrim. Studi dari Global Footprint Network (2023) menunjukkan bahwa konsumsi berlebihan oleh populasi kaya melebihi kapasitas regeneratif bumi lebih dari 2,5 kali lipat, menekankan pentingnya konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption).
Media sosial kini menjadi alat strategis untuk memperkuat budaya lokal, menyebarkan nilai kolektif, menanamkan mental kebersamaan dan kekeluargaan, serta menolak korupsi dan penindasan. Di Indonesia, 143 juta orang aktif menggunakan media sosial pada awal 2025, setara dengan 50,2% dari total populasi, dan 78,5% pengguna internet menggunakan setidaknya satu platform media sosial (DataReportal, 2025). Angka ini menegaskan potensi media sosial sebagai ruang publik digital untuk solidaritas sosial, edukasi masyarakat, dan gerakan kolektif.
Produksi konten kolektif terbukti lebih kuat daripada narasi individu. Misalnya, gerakan #SaveRisma di Surabaya memobilisasi jutaan dukungan publik melalui media sosial, menunjukkan kemampuan kolektif membentuk opini publik dan identitas sosial (Tempo.co, 2021). Teori Manuel Castells dalam Communication Power menekankan bahwa jaringan digital memungkinkan pembentukan identitas kolektif dan partisipasi aktif, bukan sekadar konsumsi pasif (Oxford University Press, 2009). Konsep space of flows Castells juga menegaskan bahwa informasi dan ide kini bergerak lintas ruang dan waktu, memungkinkan komunitas lokal bersaing dengan narasi korporasi global.
Sementara itu, media arus utama sering kali menjadi alat hegemonik yang mengekang pluralitas suara masyarakat. Studi McChesney & Nichols (2010) dalam The Death and Life of American Journalism menunjukkan bahwa media mainstream cenderung terkonsentrasi dalam tangan elit, menyaring berita sesuai kepentingan korporasi, dan membatasi informasi kritis. Di Indonesia, laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI, 2022) menemukan bahwa media arus utama cenderung mengabaikan isu lokal, keberlanjutan desa, dan ekonomi rakyat, lebih fokus pada kepentingan politik atau korporasi besar. Situasi ini menekankan urgensi platform digital kolektif untuk mengisi kekosongan informasi yang mendukung rakyat.
Koperasi Merah Putih adalah ujung tombak ekonomi rakyat kolektif. Dengan mengurangi peran tengkulak dan perantara, koperasi ini memperkuat produksi lokal, meningkatkan pendapatan petani, nelayan, dan pelaku UMKM, serta membangun ekonomi desa yang mandiri.
BUMD berperan sebagai alat ekonomi rakyat di tingkat daerah, menyalurkan keuntungan kembali ke komunitas lokal. Contohnya, BUMD di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara berhasil mendukung pembangunan infrastruktur desa, kesehatan, dan pendidikan melalui profit-sharing yang transparan (BPS, 2022). Teori kesejahteraan kolektif menekankan bahwa lembaga ekonomi publik yang dikelola secara demokratis mampu meminimalkan ketimpangan dan menguatkan solidaritas lokal.
BUMN berfungsi sebagai mesin pembangunan nasional, melindungi rakyat dari monopoli domestik dan asing, sekaligus menjamin ketersediaan barang strategis. Misalnya, PT Pupuk Indonesia dan PT Pertamina menyuplai kebutuhan pokok dan energi rakyat dengan harga terkendali. Namun, transparansi dan partisipasi publik harus dikawal agar BUMN tidak menjadi alat oligarki. Teori sosialisme keumatan dan ekonomi Islam menekankan prinsip keadilan distribusi, musyarakah (kerjasama), dan maslahat umum, di mana keuntungan tidak hanya menguntungkan elit, tetapi dirasakan seluruh masyarakat.
Integrasi koperasi, BUMD, dan BUMN adalah strategi memperkuat kedaulatan rakyat di ranah ekonomi, budaya, dan politik. Sinergi ini memungkinkan produksi lokal didukung secara finansial, distribusi dikuasai secara kolektif, dan narasi budaya dipertahankan. Hukum adat Dayak Kalimantan menekankan bahwa pengelolaan sumber daya dan kekayaan harus mengutamakan kepentingan komunitas, bukan individu atau elit.
Oleh : Alialudin Hamzah