Sambutan Ketum PB LMII Dalam Rangka Suksesi Rekrutmen Kader LMII

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Saudara-saudaraku, calon kader LMII yang saya banggakan,

Selamat datang di barisan perjuangan mahasiswa, barisan perjuangan pemuda yang sadar atas ragam problematika bangsa yang semakin semrawut ulah ketidakberesan struktural. barisan yang tidak hanya bicara tentang keyakinan islam dan idealisme, tetapi juga tentang ilmu, kebudayaan luhur, kemanusiaan, dan kesadaran sosial, selaku fondasi utama dari setiap keyakinan yang hidup.

Di sinilah kita belajar santai namun bermakna, dengan pendekatan yang adaptif terhadap zaman dengan memanfaatkan ruang digital sebagai alat perjuangan dan penyadaran sosial.

LMII hadir ditengah masyarakat untuk mencetak kader yang berpikir dalam, berjiwa sosial, dan memiliki kesadaran kolektif untuk menolak tertinggal di tengah arus deras perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saudara-saudaraku,
kita hidup di tengah perubahan besar dunia modern, di mana revolusi digital menjanjikan efisiensi, namun disaat yang sama juga menyingkirkan banyak tangan manusia dari ruang produksi.

Laporan World Economic Forum (2024) memperkirakan bahwa 83 juta pekerjaan di dunia akan hilang akibat otomatisasi, sementara hanya sekitar 69 juta pekerjaan baru yang tercipta mayoritas di bidang teknologi informasi dan analisis data. Artinya, ada defisit 14 juta pekerjaan global yang menjadi ancaman nyata bagi kaum muda, terutama mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan kritis dan literasi digital.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (2024) mencatat bahwa 68% penduduk kini terhubung ke internet, namun indeks literasi digital nasional hanya 3,49 dari skala 5. Artinya, bangsa ini masih lebih banyak menjadi konsumen informasi ketimbang produsen pengetahuan.

Lebih ironis lagi, riset Kominfo (2024) menunjukkan bahwa 7 dari 10 pengguna internet di Indonesia belum memiliki kemampuan kritis untuk membedakan antara fakta, opini, dan disinformasi.

Kita kemudian sedang menghadapi tekanan yang kompleks mulai dari fragmentasi sosial akibat individualisme digital, persaingan ekonomi yang makin ketat, dan krisis moral akibat budaya konsumtif yang mengikis empati. Semua perihal itu berpotensi melemahkan solidaritas kolektif jika kita tidak bersiap.

Namun, di sinilah peran kader LMII menjadi penting, hadir untuk menumbuhkan literasi kritis, memperkuat gotong royong, dan menanamkan kesadaran etika sosial yang membangun kepedulian.

Dengan kesadaran yang menyala dan gerak bersama, kita jadikan tekanan zaman sebagai peluang baru yang dibentuk lewat spirit solidaritas yang tangguh, inklusif, dan bermartabat.

Saudara-saudara,
kita hidup di masa di mana data menjadi komoditas baru, dan manusia perlahan dikurangi sebagai objek algoritma. Maka perjuangan kita yang lebih besar hari ini adalah bagaimana kita merebut kembali
kemanusiaan yang adil dan beradab dalam dunia yang semakin mekanistik.

Seperti yang diingatkan Tan Malaka dalam Madilog, “kemajuan bangsa hanya lahir dari rakyat yang berpikir rasional, ilmiah, dan sadar realitas sosialnya.” Dan Ali Syariati menegaskan bahwa manusia sejati adalah mereka yang menolak menjadi “budak mesin dan pasar.” Oleh karena itu, kader LMII diharapakan kedepan dapat menjadi pelopor generasi baru yang menguasai ilmu tanpa kehilangan nurani, yang kritis terhadap kekuasaan namun berpijak pada keadilan dan keberagaman, dan yang tegak berdiri di tengah perubahan dunia tanpa kehilangan arah kemanusiaannya.

Dalam kesempatan ini, saya ingin tegaskan bahwa LMII bukan produk politik pribadi atau alat kelompok tertentu, melainkan wadah dinamis dan kritis yang terus menyesuaikan diri dengan zaman, sebagaimana sejarah panjang organisasi mahasiswa yang selalu lahir dari semangat perubahan.

LMII diharapkan agar tampil sebagai produsen gagasan dan nilai, tidak sekadar pengikut tren digital. LMII harus menghubungkan nalar Islam dan ilmu sosial progresif, agar pergerakan mahasiswa Islam tak tercerabut dari akar sosialnya.

Tentu menautkan Islam dan Sosialisme Dunia Timur tidak terlepas dari keniscayaan. Dalam hal ini, LMII tidak menutup diri dari khazanah pemikiran Timur dari Islam, seperti pemikir Tiongkok, Rusia, hingga India, sebab peradaban besar selalu lahir dari pertukaran gagasan lintas bangsa.

Dari Tiongkok, Mao Zedong mengajarkan bahwa “massa adalah guru sejarah”, dan Deng Xiaoping mengingatkan bahwa “warna kucing tidak penting, selama ia bisa menangkap tikus.” Dua prinsip ini menuntun kader LMII untuk berpikir dialektis dan pragmatis dalam membangun keadilan sosial.

Dari Rusia, Lenin dan Rosa Luxemburg mengingatkan bahwa perjuangan rakyat tak boleh berhenti di wacana, tetapi harus mengakar di basis massa.
LMII memaknainya sebagai kesadaran keumatan, sebuah perjuangan yang membebaskan umat dari ketertinggalan ekonomi, pendidikan, dan kesadaran berpikir.

Dari India, Gandhi melalui Satyagraha mengajarkan perjuangan tanpa kekerasan dengan kekuatan moral, sedangkan Nehru menanamkan scientific temper sebagai semangat berpikir ilmiah dan rasional dalam membangun bangsa. Inilah fondasi gerakan mahasiswa Islam yang berakal sehat, beretika, dan berani melawan ketidakadilan dengan pengetahuan.

Tak hanya itu, LMII berdiri di tengah arus besar pemikiran yang menghubungkan Ali Syariati, Tan Malaka, dan Soekarno dalam satu tarikan napas perjuangan intelektual. Tan Malaka, melalui Madilog, menyerukan agar bangsa ini berpikir dengan logika, bukan mitos yang kerap kali menyesatkan. Soekarno sendiri mengajarkan gotong royong sebagai jalan sosialisme khas Nusantara. Sementara Ali Syariati menafsirkan Islam sebagai kekuatan pembebasan manusia dari penindasan, baik oleh struktur maupun kebodohan.

Dari ketiganya, LMII memetik satu nilai utama bahwasanya perubahan tidak lahir dari kekakuan atau perpecahan, tetapi dari kesadaran kolektif yang berilmu dan berakhlak. Saling memaafkan untuk pembaharuan yang lebih besar, dan tegas untuk menghukum jika berkaitan dengan hal hal yang merugikan kepentingan subtansial.

Saudara, saudari sekalian….
Sejauh ini, kita telah banyak menyaksikan dialektika yang mudah dipalsukan, dan identitas yang dijual murah sebagai pertanda atas kegagalan kolektif dalam membaca realitas modern. Islam tidak menolak kekuasaan atau penghormatan, tetapi ketika semua itu mengaburkan semangat perjuangan, maka harus dilawan.

Islam juga tidak untuk segelintir golongan tertentu terutama mereka yang merasa paling suci. bukan pula milik mereka yang haus jabatan dengan menghalalkan segala cara termasuk politisasi identitas yang akhir-akhir ini mengganggu kita. Islam sesungguhnya adalah jalan ilmu, pembebasan, dan kemanusiaan universal.

Habis gelap terbitlah terang.
Mati satu, tumbuh seribu. Bahwasanya kader baru lahir, semangat tak pernah padam. LMII terus menyala dari kampus, untuk rakyat, untuk perubahan, untuk peradaban manusia yang merdeka dan bermartabat.

Kami tidak mengejar jumlah yang besar tapi rapuh, melainkan menumbuhkan kualitas kader yang tangguh, kritis, bijak, sadar sejarah, dan berjiwa sosial.
Sebab perubahan sejati tidak lahir dari ego, tetapi dari gerak bersama, ilmu, dan solidaritas.

Selamat bergabung di LMII,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 10 Oktober 2025

Alialudin Hamzah
Ketua Umum PB LMII

LMII Transparan