LMII Sebut Menteri Meutya Hafid Sibuk Pencitraan, Lemah Lindungi Anak di Dunia Gim

Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) meutya hafid dalam konferensi pers di Indonesia Game Developer Exchange (IGDX), Kuta, Bali, Sabtu (11/10/2025). Tirto.id/Sandra Gisela

JAKARTA – Liga Mahasiswa Islam Indonesia (LMII) menyoroti Indonesia Game Rating System (IGRS) yang akan diberlakukan pada Januari 2026, menilai kebijakan ini lebih bersifat formalitas daripada perlindungan nyata.

Ketua Umum PB LMII, Alialudin Hamzah, menegaskan bahwa label usia 3+, 7+, 13+, 15+, atau 18+ saja tidak cukup untuk melindungi anak-anak dari konten gim yang berbahaya.

Menurutnya, sistem rating usia semata tidak menjamin keamanan karena tidak mencakup aspek psikologis dan sosial dari konten gim, seperti yang dijelaskan dalam teori modern literasi digital dan media literacy.

LMII menilai pemerintah, khususnya Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, telah lambat dan reaktif dalam mengawal IGRS. Sistem ini resmi diluncurkan sejak 2016 melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 11 Tahun 2016, namun baru ramai disuarakan sekarang, menimbulkan kesan pencitraan politik semata.

Fakta di lapangan menunjukkan lemahnya pengawasan, kurangnya edukasi digital, dan dominasi developer asing yang menekan industri lokal. Berdasarkan data industri, pada tahun 2022 Indonesia menempati posisi ketiga sebagai pasar gim terbesar di Asia Tenggara, dengan total unduhan mencapai 3,37 miliar dan transaksi senilai US$2 miliar, sementara pengembang gim lokal hanya menyumbang kurang dari 1% dari total nilai pasar.

Kasus mafia akses judi online pada November 2024 semakin menegaskan kritik LMII. Sebanyak 10 pegawai Kominfo terlibat membuka situs judi online dengan imbalan jutaan rupiah, termasuk pegawai yang seharusnya melindungi masyarakat dari konten berbahaya. Tindakan Menteri Meutya Hafid yang hanya memecat pegawai dianggap LMII simbol formalitas, tanpa adanya perubahan sistemik yang mencegah praktik serupa di masa depan.

“Label usia saja tidak cukup. Pemerintah dan Menteri Komdigi gagal menunjukkan keseriusan. Anak-anak Indonesia tetap menjadi korban kebijakan formalitas dan kepentingan industri asing,” tegas Alialudin, 13/10/2025

LMII menegaskan bahwa IGRS, dalam bentuk sekarang, hanya menjadi alat pencitraan. Generasi muda Indonesia masih terpapar risiko konten berbahaya, sementara pengambil kebijakan tampak lebih sibuk menjaga citra daripada melindungi rakyat.

LMII Transparan